Tittle :
With You
Author : Fujiwara Chiaki
Cast : Shori Sato(SEXY ZONE), Masuda Takahisa(NEWS), Chiaki Masuda(OC)
Genre : romance
Type : multhy-chap
Fandom : JE
Author : Fujiwara Chiaki
Cast : Shori Sato(SEXY ZONE), Masuda Takahisa(NEWS), Chiaki Masuda(OC)
Genre : romance
Type : multhy-chap
Fandom : JE
SUMMARY : Dia membuatku menyadari
apa itu ‘cinta’ yang sesungguhnya. Perasaan yang berbeda jauh
dengan rasa ‘suka’.
Aku pikir, aku memiliki cinta terlarang. Aku pikir ini
benar-benar cinta. Aku cinta…sangat cinta pada kakak kandungku sendiri. Aku
sangat gembira dan ada perasaan dimana jantungku berdetak kencang saat kakakku
memeluk erat tubuhku. Aku sangat cemburu saat mengetahui kakakku menyukai
seseorang, bahkan sampai aku mengutuk orang yang disukainya itu.
Aku selalu merasa
bersalah dan takut. Takut perasaanku ini akan diketahui oleh kedua orang tuaku.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan perasaan terlarang ini. Dan aku
selalu berpikir kalau ini mustahill, juga mustahil kalau kakak-ku itu juga
menyukaiku seperti aku menyukainya.
Aku selalu memperhatikannya dengan seksama. Aku selalu
membantunya sebisaku, membuatnya nyaman berada di dekatku. Aku berusaha agar
kakak-ku memandangku. Aku sangat berusaha keras demi kakakku.
Tapi pikiranku itu, sebelum aku menemui orang itu. Dia
yang membuatku menyadari bahwa cintaku pada kakakku hanya sekedar saudara—walau
aku terlalu berlebihan, dan menurutku kenapa aku sangat berlebihan pada kakakku
adalah karena aku mengaguminya layaknya idolaku. Yup, aku sangat
mengidolakannya.
Aku sudah mengetahui..perasaan ‘suka’ dan ‘cinta’ itu
sangat berbeda. Lewat kakakku, aku tahu arti perasaan ‘suka’ itu, dan lewat
dia, aku mengetahui perasaan ‘cinta’.
Dia adalah…Shori Sato.
***
“Ah, Shori..maaf aku
terlambat.” aku berlari menujunya. Dia menungguku di depan gerbang Disney Land
Tokyo. “Kau sudah menunggu lama?” lanjut tanyaku dengan napas terengah-engah.
“Tidak juga.” Jawabnya.
Sejenak aku memandangnya dengan wajah sedih. Aku ingin
mengatakan sesuatu, tapi rasa takutku membuatku mengurungkan niatku.
Shori menatap wajahku dengan kening berkerut. Terlihat
wajahnya keheranan melihat tingkah anehku saat ini. “Ada apa? Kenapa tida
masuk?”
“Ngg..itu..ti-tiketnya..maaf
aku menghilangkannya..” aku menundukkan wajahku lalu menyatukan kedua tanganku
dan mengangkatnya sampai sejajar dengan mataku.
Shori tertawa dan aku menengadahkan wajahku, menatapnya
dengan heran. “Ke-kenapa?” tanyaku.
“Jadi
karena itu. Chi-chan, kau memang aneh.” Ucapnya menahan tawa. Sejenak Shori
memandang ke atas, seperti memikirkan sesuatu—aku harap bukan hal-hal aneh
lagi. Shori selalu melakukan hal-hal yang aneh dan tidak terduga dan terkadang
ekstrem, membuatku jantungan saja.
“Ah,
tidak usah pikirkan tiket itu..”ujarnya sambil meraih saku celananya. Ia
mengeluarkan tiket miliknya. Lalu…merobeknya seketika. Aku membelakkan kedua
mataku, tak percaya dia merobeknya dengan semudah itu, padahal itu tiket yang
mahal. “Well, kita sama-sama tidak memiliki tiket. Bagaimana kalau kita lewat
jalan pintas?” ajaknya sambil menuding ke arah belakangnya.
Shori menggandengku dan menarikku agar aku mengikutinya.
Kami berjalan ke arah yang ditunjuk Shori tadi. Tempatnya sepi, tidak ada
orang.
Kami berhenti tepat di depan pintu yang bertuliskan ‘DILARANG MASUK!’ . Shori tampak was-was, dia melihat ke
sampingnya, lalu membuka pintu itu perlahan agar suara decitan pintu itu tidak
terlalu keras. Lalu masuk ke dalamnya. Kalau Massu-niichan tau hal ini, pasti
kami akan diceramahi seharian penuh. Untung saja oniichan tidak tahu kalau
Shori adalah tipe orang seperti itu.
“Shori!
Apa yang mau kau—“ belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku itu. Ia
membungkam mulutku dengan tangannya. Tangan Shori terasa sangat dingin di
bibirku. Membuat warna merah tampak di kedua sisi pipiku.
“Sssht!
Nanti kita ketahuan!” bisiknya. Lalu ia kembali menuntunku mengikutinya.
Kami menaiki sebuah tangga yang panjang. Sedikit membuat
kakiku kelelahan dan sakit. Setelah cukup lama menaiki tangga ini, kami melihat
sebuah pintu di ujung sana. Pintu yang terlihat rapuh dan berkarat. Tapi pintu
itu terkunci rapat dengan gembok besar yang menggantung. Kembali Shori meraih
sakunya dan mengambil sesuatu yang terbuat dari kawat, lalu membukanya dengan
itu dan dengan mudah terbuka.
Saat pintu terbuka, cahaya menyilaukan mataku, membuatku
refleks menutup mata. Tapi perlahan aku mulai membuka mataku.
Pemandangan indah dapat terlihat dari tempat ini. Kami
bisa melihat seluruh Disney Land Tokyo dari atas sini. Benar-benar menakjubkan.
Aku ingin menceritakan ini pada Massu-niichan dan mengajaknya kesini, tapi itu
mustahil, aku lupa itu.
“Maaf,
hanya bisa seperti ini. Padahal kau sangat ingin naik jet coaster , bukan?”
“Permintaan
maaf diterima. Tidak apa-apa, kita bisa naik lain kali.” Jawabku. “Tapi jangan
ceritakan ini pada Massu-niichan, ya? Bisa-bisa dia mengamuk!” lanjut kataku
sambil menirukan wajah Massu-niichan saat mengamuk. Shori tertawa melihatku
seperti itu, dan aku pun juga tertawa tentunya.
Shori menggengam tanganku erat. Aku merasakan tangannya
sangat dingin, sedingin es. Aku mengamatinya dengan seksama, melihat apakan
wajahnya pucat. Tapi saat aku melihatnya, aku melupakan tujuanku.
Aku terlalu terhanyut padanya, wajahnya yang sedang
mengamati pemandangan di depan itu sangat menawan. Rambut hitamnya berkibas
karena tiupan angin yang lembut. Senyumnya sangat tulus hingga membuatku seakan
meledak, hancur berkeping-keping karenanya.
Dan Shori sadar kalau aku sedang mengamatinya.
“Kenapa
dengan wajahku?! Ada yang salah?” katanya canggung dan membuang muka dariku.
Aku tahu kalau dia malu. Aku menyipitkan mata dan memamerkan senyum jahilku.
“Aku
baru sadar kalau kau sangat tampan!” godaku yang membuat wajahnya merah merona.
Aku berhasil mengerjainya.
Ia mengalihkan pandangannya kembali padaku. Matanya
menembus masuk dalam mataku. Sesaat kami saling bertukar pandang. “Aku rasa
saat berangkat tadi kepalamu pasti terbentur keras, ya?” ejeknya padaku. Aroma
napasnya dapat kurasakan.
“Ti-tidak
juga..” ujarku yang kini membuang muka. Menutupi wajahku yang kini berbalik
menjadi merah. Kurasakan tangannya yang dingin itu memegang wajahku. Membuat
jantungku berkerja sangat keras, lebih keras daripada biasanya.
Bola matanya yang hitam itu berkilauan. Aku masih bisa
melihatnya dengan jelas walau hari sudah mulai gelap pekat. “Sayang sekali…”
ujarnya.
Kepalaku berputar-putar saat Shori mendekatkan wajahnya
ke wajahku. Napasku menjadi lebih tak beraturan. Dan ia menempelkan bibirnya
yang dingin itu ke bibirku. Darahku seakan memanas ketika Shori meraba dengan
lembut bibirku, membuat warna merah di pipiku itu semakin terlihat. Tanpa
sadar, aku melilitkan kedua tanganku ke lehernya dan membiarkan diriku lebih
terhanyut dalam ciumannya.
Perlahan ia mengendurkan ciumannya, dan mengakhirinya.
“Kau tahu…Wajahmu
merah seperti tomat..” bisiknya. Napasnya masih bisa kurasakan. Aku hanya
menggembungkan pipiku dan mengabaikan kata-katanya barusan.
“Aku rasa..naik jet coaster sama rasanya dengan berciuman denganmu.” Ujarku
memundurkan langkahku agar sedikit menjauhinya.
“Hah? Kenapa?” Shori
mengerutkan keningnya.
“Karena dua hal itu, bisa
membuatku jantungku sama-sama rasanya mau lepas.” Celetusku polos. Shori
menggembungkan pipinya, menahan tawa setelah mendengar pengakuanku tadi.
“Sudahlah, tidak usah ditahan tawamu itu, menyebalkan. Kau tahu, itu sama saja
seperti merendahkan martabatku.” Lanjut kataku.
Akhirnya Shori tertawa, padahal aku mengatakan hal-hal
itu dengan serius. Sebenarnya yang aneh itu Shori. Tapi aku senang bisa melihat
senyumnya dan mendengar tawanya itu. Membuatku sangat lega.
***
Shori itu..orang yang sangat berharga. Aku tidak bisa
menjelaskannya secara rinci, itu sangat susah. Dia seperti matahari. Ya, dia
matahariku.
Dia bisa menghangatkan hatiku, walau tubuhnya dingin—aku
tidak tahu kenapa. Sentuhan tangannya, pelukannya, ciumannya, terasa dingin.
Setiap aku bertanya tentang hal itu, dia hanya menjawab ‘Mungkin aku keturunan vampir.’ dan lalu tertawa.
Wajahnya selalu ceria, dia selalu cerah setiap
saat—seperti matahari. Dia selalu tersenyum dan tertawa, dan dia sering sekali mengejekku.
Dia bersemangat dalam semua hal. Yah, itu memang sifatnya.
Suaranya sangat indah, lebih indah dari apapun. Pendek
kata, suaranya itu membawa kedamaian. Aku pernah diam-diam mendengarkannya bernyanyi
sambil memainkan piano di ruang musik sekolah kami. Tapi, saat aku memintanya
untuk kembali melakukan hal itu, dia menolak. Dia bilang ‘Aku terlalu malu untuk menunjukkan suaraku yang jelek ini’
dustanya, dan lalu menambahkan ‘tapi,
suatu saat, aku akan bernyanyi untukmu. Tunggulah sampai suaraku menjadi
bagus!’ .
Matanya tegas, memancarkan cahaya kepercayaan diri yang
kuat.
Tatapan matanya lembut dan tajam, seakan mengatakan ‘aku akan melindungimu dengan sekuat
tenaga’.
Bola matanya berwarna hitam pekat dan berkilauan,
membuatku mencair setiap menatapnya.
“Chi-chan…’’
Suara itu, suara yang sangat ingin selalu kudengar..suara
yang indah dan tidak akan pernah kulupakan seumur hidup—suara Shori.
“Chii…”
“Bangun..?”
B-bangun?!
.
.
.
.
“Oi, Chi-chan, bangun!”
Terdengar teriakan yang cukup keras, teriakan yang khas
di telingaku dan yang selalu bisa kudengar setiap harinya—teriakan
Massu-niichan. Dan kini aku merasakan aku membentur sesuatu yang keras. Kubuka
mataku dan aku sudah ada di lantai. Mataku hanya separuh terbuka sampai sebelum
oniichan mengatakan…
“Shori
menunggu di lantai bawah. Katanya kalian akan berangkat sekolah bersama?” Aku
membelakkan mataku lebar-lebar begitu mendengar nama Shori disebut. Ah, sial
aku lupa kalau Shori hari ini menghampiriku! Tapi rasa lelah dan ngantukku ini
tidak bisa diganggu gugat lagi. Aku terlalu lelah, tidur seharian saja tidak
cukup untuk menghilangkan rasa lelahku.
“Apa?!
Bukannya ini masih jam 11 malam, jangan bohong, niichan!” kataku yang lalu kembali
ke kasur surgaku dan merebahkan diri di sana. Massu-niichan mengambil selimutku
dan memegang kedua pundakku lalu menariknya ke atas, mendorong-menarik tubuhku
dengan kasar agar aku terbangun. “Niichan, musuhku di lantai empat belum
kukalahkan..” kataku ngelindur.
“Bodoh,
lihat jam berapa sekarang!” aku mencoba membuka sedikit mataku, mengintip jam
dinding yang ada di samping.
“Jam….8?!!”
suaraku langsung naik 3 oktaf.
Aku bergegas
masuk kamar mandi lalu menyambar tas sekolah, dan berjalan dengan cepat
menuruni tangga menuju Shori yang sedang menungguku.
“Itu
dia, maafkan adik bodohku ini. Kau jadi ikut terlambat Sato-kun..” sesal
Massu-niichan pada Shori. Aku memanyunkan bibirku padanya. Lalu menarik tangan
Shori dan keluar dari rumah. Aku masih sempat mendengar desahan Massu-niichan
yang seakan mengejekku.
Shori berulang kali melihat ke arah jam tangannya saat
kami berjalan menuju sekolah. Lalu ia terlihat seperti memikirkan sesuatu. Di
tengah perjalanan, tiba-tiba Shori menghentikan langkahnya. Memandang ke
arahku, namun mukanya terlihat ragu-ragu.
“Ada
apa?” tanyaku canggung.
“Sekarang
sudah jam 10, sudah sangat terlambat untuk ke sekolah.” jelas Shori. Lalu ia
berjalan menuju dinding jembatan yang kami lewati ini dan bersandar disana.
“Bagaimana kalau kita sekalian saja membolos?” ajaknya.
“Hah?!
Jam 10?!!” tanyaku kaget. Apa aku sebegitu terlambat bangun dan lama
bersiap-siap, ya? “Tapi, kalau ketahuan bahaya, kan? Apalagi kalau sampai
Massu-niichan tahu…aku tidak ingin membuatnya kecewa.” bujukku padanya.
“Kalau
gitu jangan sampai ketahuan!”
Aku mendekati Shori yang sedang asik melihat birunya
warna laut. Memandangnya sebentar, lalu beralih melihat laut sama sepertinya.
“OK.”
Kataku sependapat padanya. “Jadi, akan kemana kita?”
Mata Shori melirikku, lalu ia nyengir.“Ke tempat yang
orang belum mengetahuinya.”
Shori membawaku melewati jalan yang sama sekali tidak
kuketahui dan asing. Beberapa kali aku sempat ragu padanya dan juga takut, tapi
aku mencoba keras untuk tetap percaya padanya. Jantungku berdetak kencang dan
tak beraturan.
Kali ini, tempat yang kami lalui adalah gang kecil dan
gelap. Rasa takut itu semakin besar. Aku selalu memandangi punggung Shori yang
membuatku berulang kali tersandung dan hampir jatuh, tapi tangannya yang dingin
memegangku agar tetap bertahan.
Setelah lama berjalan, kami melihat cahaya yang terang
yang ada di depan kami. Langkah Shori pun semakin cepat menyusuri gang kecil
ini.
Dan kami pun sampai disana. Shori berhenti berjalan
mendadak, membuatku menabrak punggungnya. “Kita sampai, tidak ada yang bisa
menemukan kita disini.” Ucapnya tanpa menoleh ke arahku dan memandang lurus ke
depan.
Aku menggeser tubuhku dari belakang Shori, dan melihat hamparan
padang yang tidak terlalu besar, berbentuk bulat sempurna, seperti ada orang
yang sengaja membuatnya tanpa meninggalkan jejak. Tempat ini indah dan sangat
tenang, sebagian permukaannya tertutup oleh sungai yang jernih, dan sebagiannya
lagi tertutup oleh rumput yang mengayun saat angin menerpanya.
“Benarkah
ada tempat seperti ini di Tokyo?” tanyaku tidak percaya. “Seandainya aku bisa
melihatnya dengan Massu-niichan!” lanjut kataku. Aku berlarian kesana-kemari. Aku
tidak pernah melihat pemandangan seperti ini secara langsung—tapi kalau di anime sering.
Shori tersenyum dan ia berteduh di bawah pohon sakura
yang ada di tengah-tengah padang ini. Walaupun ini bukan musim semi, tapi
banyak bunga yang bermekaran indah disini. Air dari sungai itu juga sama
indahnya—memancarkan kilau yang terpantul dari matahari.
Saat aku sudah lelah berlari, aku menghampiri Shori dan berbaring
di sebelahnya. Napasku masih belum stabil karena lelah berlari tadi. Aku
sejenak memandang Shori. Dia tertidur pulas, wajahnya yang tertidur sangat
lucu. Berbeda kalau dengan saat ia bangun.
Aku ingin membangunkannya, tapi tenangaku sudah terkuras
habis. Mataku semakin lama semakin berat dan membuatku juga tertidur di
sampingnya.
Walaupun hari terasa sebentar, aku sangat senang bisa
bersamanya. Aku tidak tahu lagi kalau Shori tidak ada. Mungkin aku akan
menangis, atau sangat kesal? Aku tidak tahu, dan aku tidak mau memikirkan hal
itu. Cukup memikirkan hal-hal menyenangkan bersamanya saja, hanya itu..
***
Hari sudah mulai gelap, dan aku harus pulang secepatnya.
Aku juga sudah sangat rindu pada oniichan. Kami berjalan beriringan saat
pulang, tapi Shori diam seribu kata. Sama sekali tidak mengatakan apapun, dia
juga tidak menatapku. Ini sama sekali tidak seperti Shori yang sebelumnya.
Terasa sangat berbeda.
Akhir-akhir ini, Shori jadi sering melamun dan
memikirkan sesuatu. Dia sama sekali tidak mau membicarakannya denganku. Mungkin
itu urusan pribadi yang tidak ingin diketahui orang-orang, sama halnya dengan
rahasiaku.
Keheningan ini membuatku bosan, dan membuatku untuk
membuka mulut pertama.
“Tadi,
terimakasih sudah mengajakku ke tempat yang luar biasa!” ujarku semangat. Aku
melihat Shori tersenyum padaku dan tidak membalas kata-kataku yang kuucapkan barusan.
Keheningan kembali ada di antara kami. Tapi aku tidak menyerah!
“Indah
sekali…aku ingin melihatnya bersama Massu-niichan..”
Shori memandangku dengan tatapan marah. Dan ini pertama
kalinya bagiku melihat itu. Dia mellirikku dan menggertakan giginya.
Aku berhenti berjalan dan kaget dengan ekspresi itu. Aku
terus memandangnya dengan perasaan takut. Shori mendekatiku perlahan seakan
mengancam. Aku sedikit beruntung karena jalan yang kami lewati sepi tidak ada
orang, jadi tidak ada yang melihat kami saat ini.
Aku mundur beberapa langkah menjauhinya. Shori masih
terlihat tampak kesal. Aku merasakan kalau aku sekarang tepat di depan sebuah
tembok besar. Aku tidak bisa mundur lagi.
“Apa
hanya oniichan-mu yang ada di otakmu?” geramnya dengan suara berat.
“Eh?”
“Kau
selalu berbicara tentangnya. Aku bahkan pernah tidak sengaja mendengarkanmu
berbicara kalau kau punya perasaan ’khusus’ padanya.” Aku kaget mendengar
ucapannya itu. Jadi, Shori tahu rahasiaku yang kusembunyikan. “Aku juga dengar
dari teman-temanmu, kalau kau selalu membicarakan oniichan-mu. Dan kau jarang
membicarakanku—atau bahkan tidak pernah. Kau seperti tidak menganggapku ada..”
Lanjut ucapnya.
Aku tidak percaya Shori mengatakan hal-hal itu. Padahal
lama bersama Shori, membuatku bisa membedakan rasa suka dan cinta. Aku tidak
bisa mengatakan apa-apa, atau menjawab pertanyaaan itu.
Shori membuang muka dariku, lalu berjalan
meninggalkanku. Aku hanya bisa terdiam. Aku tidak bisa mengejarnya.
Kata-katanya barusan masih membuatku shock
.
Apakah aku sudah menyakiti hatinya sejak dulu? Apa dia
merasa kalau dia hanya menjadi ‘sesuatu’ untuk menutupi rahasiaku—rasa cintaku
pada niichan—agar tidak terbongkar? Atau dia merasa sangat cemburu?
Aku pulang dengan perasaan menyesal. Takut..aku takut
tidak bisa bersama Shori lagi. Terlihat seisi rumah memandangku heran. Tapi aku
tidak memperdulikannya. Aku tetap berjalan menaiki tangga, menuju kamarku, dan
langsung menguncinya. Aku berdiri membelakangi pintu kamarku dan diam seperti
patung disana.
Aku sama sekali tidak bersemangat—tepatnya kehilangan
semangatku. Aku melihat ponsel-ku berulang kali dan tidak ada email masuk dari
Shori. Jadi, dia benar-benar marah padaku?
Aku merasakan halusnya lantai kayu di lututku, lalu di
telapak tanganku dan kemudian menempel di pipiku. Aku menarik lututku mendekati
dada lalu memeluknya.Aku berharap bisa pingsan, tapi sayang hal itu tidak
terjadi.
Aku benar-benar seperti tenggelam dalam laut dan tidak
akan pernah muncul di permukaan lagi.
***
Sudah seminggu kami tidak saling berkomunikasi, bahkan
di sekolah kami tidak saling menyapa. Terasa sepi dan membosankan. Keberanianku
untuk menyapanya duluan sudah hilang, aku takut Shori akan lebih membenciku.
Wajahnya yang sangat marah itu, masih terekam dengan jelas di kepalaku.
Walau tidak berkomunikasi, tapi aku masih menyempatkan
untuk melihat wajahnya di kelas. Dia sama sekali sangat tenang, biasanya saat
di kelas dia selalu tertawa, tawanya memenuhi kelas. Dia bukan cuma menjadi
matahari bagiku, tapi bagi semua orang.
Jangankan tertawa, senyum saja tidak. Setiap ada yang
mengajaknya untuk pergi makan siang bersama, dia selalu mengabaikan tawaran
itu. Dan mereka memasang wajah kecewa pada Shori.
Aku merasa sangat bersalah, aku menghancurkan matahari
semua orang. Apa yang bisa kulakukan? Aku terlalu takut.. Bisa dibilang, aku
adalah orang yang tidak bisa diandalkan.
Bisa kau bayangkan dunia tanpa matahari? Perlahan namun
pasti, dunia seperti itu akan hancur dengan sendirinya. Dan aku takut hal seperti
itu akan terjadi denganku.
Hari-hariku kulalui tanpa semangat, bahkan menonton
acara anime favoritku saja sudah sangat malas. Anime yang
romantis dan sangat kusukai, tapi tidak saat ini. Melihatnya, aku teringat pada
Shori, membuat hatiku semakin sakit.
Meski begitu kudapati bahwa aku masih bisa bertahan. Aku
sadar kepedihan itu—perasaan kehilangan yang terpancar keluar dari dadaku,
mengirimkan gelombang kesakitan yang menghancurkanku. Seperti memahat lubang
pada hatiku, lubang yang semakin lama semakin melebar.
Aku tetap memasang senyumku saat Massu-niichan pulang
kuliah. Senyum yang separuh tulus dan separuhnya lagi tidak. Bersandiwara agar
kesedihanku ini tidak diketahui olehnya. Aku harap dia tidak bisa membaca
pikiranku.
Terdengar suara pintu terbuka, itu pasti niichan! Segera
aku melirik ke arah jam untuk memastikan bahwa ia tidak pulang terlambat,
karena aku tidak suka dia melakukan hal itu. Aku sangat rindu padanya.
“Tada
ima.” Suara lembut yang khas itu, memang hanya dimiliki oleh niichan seorang.
Aku tersenyum dan berlari ke tempatnya.
“Oniichan…okae—AHH!”
teriakku terkejut saat melihat lengan kanan Massu-niichan terluka dan
mengeluarkan darah. Tampaknya niichan bingung kenapa aku berteriak, dan
kelihatannya dia tidak sadar kalau dia terluka.
Aku menunjuk ke
arah lengannya itu dan langsung berlari tergesa-gesa mengambil tas dokterku
yang ada di lantai atas. Tas ini berisi peralatan medis khusus untuk niichan,
dia sering terluka kecil dan mengabaikan luka itu. Walaupun kecil, tapi bisa
berbahaya kalau terrinfeksi.
Dengan cepat aku menuruni tangga dan menuju niichan. Aku
membasuh lukanya, mengobatinya dengan hati-hati, lalu membalut lukanya.
Aku tersenyum lega pada niichan, dan tentunya dia juga
membalas senyumku. Setelah puas melihat senyumnya barulah aku mengemasi peralatan
ini.
“Ah, sankyuu..” ucap yang
tampak senang, entah kenapa. “Chi-chan, bagaimana dengan Sato?” pertanyaan itu membuatku lesu. “Ada apa?”
lanjut tanya niichan dengan nada mencemaskanku.
“Kami
bertengkar.” Kataku jujur. “Tapi, yang penting kan onii—”
“Chi-chan..terimakasih
sudah mendahulukan perasaanku selama ini, tapi kali ini dulukan perasaannya. Di
beberapa kejadian, mengalah itu adalah pemenang.” Ucap niichan menyemangatiku.
Kata niichan menurutku tidak berarti dan tidak nyambung
dengan permalasahku, tapi itu membuatku ingin meminta maaf duluan pada Shori,
tapi apa yang harus kukatakan nanti. Aku takut aku salah bicara dan membuat
keadaan makin buruk.
Aku berdiri dan lalu duduk di samping niichan.
Menyandarkan kepalaku yang pusing ke bahunya. Bahu Massu-niichan sangat keras.
Sedikit membuat kepalaku seperti terbentur batu, tapi entah aku nyaman berada
di sini.
Lamunanku buyar ketika suara okaasan yang tiba-tiba
membuatku kaget.
“Chi-chan..ada
yang mencarimu!” seru okaasan dari arah pintu rumah kami. Lalu terdengar suara
okaasan sedang girang berbicara dengan tamu yang datang hari ini. Aku dan
Massu-niichan saling memandang, dan sepertinya kami tahu siapa tamu itu.
“Siapa?”
Tanya memastikan.
“Sato-kun.”
Bisik okaasan yang tiba-tiba ada beberapa meter dari kami. “Dia menunggumu di
luar. Sepertinya ada hal penting.” Okaasan memutar bola matanya dan menaikkan
bahunya. Lalu menunjuk arah luar rumah.
Sejenak aku memandang Massu-niichan dengan ekspresi tidak
percaya. Tanpa sadar senyumku merekah lebar dan juga Massu-niichan. Sesaat
sebelum aku hentak mengangkat kakiku untuk segera berjalan menuju pintu rumah
Massu-niichan berbisik padaku.
“Hei,
ajak dia masuk ke rumah. Di luar sangat dingin.” ujarnya. “Kalau membicarakan
hal yang tidak ingin di dengar, ajak saja dia masuk kamarmu.” Massu-niichan
mengembangkan senyum jahilnya itu. Tapi aku hanya bbisa membalas dengan tawa,
lalu menghampiri Shori di luar.
***
“Shori…” aku menghampirinya
lebih dekat. Shori melirikku sesaat, lalu kembali melihat kegelapan malam di
depan matanya. Aku berdiri di sebelahnya, menunggunya berbicara tanpa
menatapnya. Aku berusaha mengatur napasku yang kini tidak beraturan karena
menahan air mata yang mencoba keluar.
“Chi-chan, aku minta maaf.
Aku terlalu emosional kemarin—”
“Tidak apa-apa!” aku
menyela kata-katanya, terlalu antusias menjawabnya malah. “Aku juga salah, tapi
kau tahu, perasaanku ke Shori dan Massu-niichan berbeda jauh walau kelihatannya
sama.” Ujarku melanjutkan kata-kata.
“Apanya yang berbeda?”
tanya Shori melupakan apa yang mau ia sampaikan di awal tadi. Shori menatapku.
Mata berbinar itu sama seperti saat di Disney Land Tokyo kemarin.
Mata indah hitam pekat dan tampak bercahaya. Hanya dia
yang memiliki mata seindah itu. Tatapan mata yang tajam dan lembut. Membuatku
serasa terperangkap dalam matanya, dan terpaku saat melihatnya. Pantas saja dia
begitu digemari di kalangan perempuan. Tidak ada yang bisa menolak pesonanya,
termasuk aku. Aku hampir lupa kalau dia sedang menunggu jawabanku. “Hei.” Satu
kata yang membuatku sadar dari lamunanku.
“Ah, maaf..” sesalku. Cinta
dan suka itu berbeda, kan?” tanyaku pada Shori. Kulihat dia mengengguk. “Lewat
Shori, aku bisa mengerti dan merasakan apa itu namanya ‘cinta’. Lewat
Massu-niichan, aku mengerti peasaan ‘suka’. Dan kedua hal itu rasanya berbeda
jauh—aku tidak bisa menjelaskannya. “Jadi..Shori percaya padaku?”
“Benarkah? Kau yakin bukan
Massu yang kau cintai?” tanyanya mencoba meyakinkanku. Shori melirikku dengan
tatapan mata mengintrogasi.
“100%!”ujarku dengan nada
yang keras dan tegas. “Kau, percaya padaku sekarang?”
Kami memandang lama sekali. Terlihat wajah Shori tampak
mencoba keras meyakinkan dirinya dan mencoba percaya pada kata-kataku. Aku
hanya terdiam menunggu jawaban darinya, tidak ada yang bisa kulakukan selain
itu.
“Aku percaya. Terimakasih, aku senang.” Dia
memamerkan senyumnya yang sudah lama tidak kulihat. Senyum yang membuat hatiku
luluh, senyum yang aku rindukan selama minggu ini.
Wajahku memerah dan aku memandang lurus ke depan sama
seperti yang dilakukan Shori dalam waktu yang sama denganku, menatap
bayang-bayang gelap yang sudah tak terlihat lagi oleh mataku. Memikirkan hari
esok, apa yang akan terjadi. Tentunya aku mengharapkan hal-hal yang
menyenangkan setelah satu minggu lamanya aku nyaris seperti mayat hidup.
Udara dingin menerpa kami, membuatku sedikit menggigil,
aku baru sadar kalau aku ada di luar rumah hanya dengan memakai piyama tidurku
ini. Pantas saja sejak tadi aku merasa kedinginan sementara Shori
tidak—sepertinya.
Tanpa mengalihkan pandangannya, Shori menggenggam tanganku
yang ada di dekatnya, lalu memasukkannya ke saku jaketnya yang tebal tanpa melepaskan
genggaman tangannya dariku. Tangan Shori tidak sedingin yang biasanya, justru
hangat—sangat hangat. Apa dia sedang sakit?
“Kau
sakit?” Shori tidak menyahut, kemudian
aku meletakkan tanganku yang masih bebas ke dahinya. Panas sekali! Pantas saja
dia tampak sedikit pucat. “Shori, masuklah ke dalam! Aku akan membuatkan sesuatu
agar kau lebih baik.”
Aku menariknya masuk ke rumah, tapi Shori sama sekali
tidak melangkahkan kakinya sepertiku. Lalu ia memelukku dari belakang dan
sontak membuatku kaget. Tubuhnya menghangatkanku dari dinginnya udara di luar.Panas
suhu tubuhnya seperti menyalur ke tubuhku. Aku merasakan kehangatan di dalam
pelukannya.
“Tidak
apa-apa. Aku akan pulang sebentar lagi. Aku hanya ingin melepaskan rasa rinduku
selama ini.” Bisiknya di telingaku. Ia lalu memper-erat pelukannya kemudian
menenggelamkan wajahnya di antara leher dan bahuku. Napasnya yang hangat dapat
dengan jelas kurasakan menggelitik leherku, sedikit membuat debaran jantungku
kacau.
Aku tidak menjawabnya. Tidak bisa menjawabnya karena
dekapan Shori sangat erat, membuatku sulit untuk bernapas. Dan juga, nada
bisikannya membuatku gemetaran, aku rasa Shori mengetahui hal itu.
Pelukan ini sama mendebarkannya seperti dulu. Tidak ada
yang berubah—kecuali suhu tubuhnya. Saat itu aku berpikir, apakah aku suatu
saat akan mulai terbiasa dengan pelukannya yang seperti ini? Kurasa sekarang
aku tidak perlu memikirkan hal itu.
Aku menutup mataku, mematikan indra pengelihatanku agar
pelukannya lebih bisa kurasakan. Memegang erat tangannya yang melingkar
melewati lengan-lenganku.
Lewat pelukan ini…
Tersampaikan perasaan kami…
Jantung kami yang sama-sama berdetak kencang…
Dan rintihan hati kami… Perasaan rindu yang kami pendam
selama ini…
haaa??tsuzuku?? aku kira oneshot...
BalasHapus#tertipu
hahaha...
lanjut.... :)
udah bagus banget...aku suka dimana Shori memperlihatkan sisi gelapna...hehehe..
keep writing.. :P
iya ahahahaha XDD
BalasHapusini masih dalam tahap pengerjaan~ masih setengah..
wah, sankyuu~ ff nya bunda jg keren2~
eh?? sisi gelapnya shori? o.o
sippo~~~~ ^D^>
lanjuutt chia-chan~!
BalasHapusselipin yuto dong! haha
yuto??? oke, semoga ada imajinasi lewat ya? hahaha
BalasHapushuah ff nya keren >.<d
BalasHapus