Jumat, 22 Juni 2012

SEXY ZONE - WITH YOU #2

*Previous Chap

Tittle                 : With You #2
Author               : Fujiwara Chiaki
Cast                  : Shori Sato(SEXY ZONE), Kamiki Ryunosuke, Masuda Takahisa(NEWS), Chiaki Masuda(OC)
Genre                : romance
Type                 : multhy-chap
Fandom             : JE

SUMMARY                       : Terkahir aku bersamanya, dia masih dalam keadaan baik-baik saja sampai sebelum aku mendapatkan kabar itu.





Aku yakin kalau aku sekarang sedang bermimpi.

Alasan mengapa aku sangat yakin adalah, karena aku sedang berada dalam rumah sakit. Rumah sakit besar yang tidak kutahu. Orang-orang asing berjalan tergesa-gesa dan saling berbicara dengan nada yang cepat dan bahasa yang tidak kuketahui. Tapi aku tidak terlalu memperdulikannya.

Aku mendengar sebuah irama yang indah, mengingatkanku pada irama piano yang sedang dimainkan Shori saat aku diam-diam melihatnya di ruang musik sekolah. Ya! Aku ingat! Irama ini sama persis dengan yang dimainkan Shori.
Aku mencoba mendengarkan iramanya dengan seksama dan mengikuti asalnya.

Semakin lama, semakin dekat. Semakin terdengar jelas olehku. Aku berjalan sambil menikmati indahnya irama yang seakan memanggilku itu.

Namun tiba-tiba irama yang sedang asik kunikmati itu mendadak berhenti saat aku sadar aku berada di depan pintu yang cukup besar. Aku melirik ke segala arah di koridor ini, dan tidak kudapati lagi orang-orang asing yang berjalan kesana-kemari itu. Koridor ini sepi, hanya ada aku seorang.

Kini aku kembali terfokus pada pintu di depanku itu. Perlahan-lahan, tanganku mencoba menggapai gagang pintu lalu memegangnya dengan kuat. Tanganku bergetar hebat saat tiba-tiba aku mendengar jeritan dari balik pintu ini. Jeritan itu tidak terlalu terdengar asing di telingaku.

Aku menggeser pintu itu lambat, namun ada secercah rasa takut dalam diriku. Membuatku gemetaran, tidak hanya tangan, tapi gemetar itu sampai di kakiku.

Saat pintu terbuka lebar, aku melihat Shori terbaring lemah di kasur. Dengan cepat, aku berlari padanya.
Tubuhnya dingin, bahkan lebih dingin dari pada sebelumnya. Tangan kirinya gemetaran memegangku, mencengkramku erat sekali. Matanya yang berkilau itu pun menjadi sayu. Pandangan matanya pun kosong.

Aku merasakan kepedihan yang luar biasa saat melihatnya. Lubang yang dulu sempat sembuh, kini terbuka kembali. Wajahnya begitu pucat, Shori memandangku dengan tatapan yang sulit untuk kujelaskan. Di wajahku, aku tahu tidak tergambar emosi apapun kecuali kesedihan sendu.

            “S-Shori…” isakku dengan suara bergetar.

 Aku tidak bisa menahan air mata yang lama sudah kubendung sejak tadi. Kini mengalir derasnya tanpa berhenti sedikitpun. Aku mempererat tangannya yang menggenggamku itu, berharap kehangatan tubuhku bisa sampai padanya.

Shori mengangkat tangannya yang lain untuk membelai pipiku dengan ujung-ujung jarinya, terus hingga ke dagu. Memandangku sejenak, wajah sedih tampak padanya. Tapi, lalu ia mengembangkan senyum kecil padaku dan mulai berbicara padaku..

            “Nantinya akan terasa seolah-olah aku tak pernah ada.”

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Itu adalah mimpi buruk, sangat buruk. Mimpi itu menghantuiku beberapa hari ini, aku tidak tahu kenapa. Dan aku tidak ingin kalau itu menjadi kenyataan.

“Ini bukan apa-apa! Ini bukan apa-apa!”  pikirku berusaha menghiburku sendiri. Itu benar, ini memang bukan apa-apa. Hanya mimpi buruk, mimpi buruk yang tak berarti.

Tapi entah kenapa…kata-kata yang diucapkan Shori dalam mimpiku itu terasa aneh bagiku. Terkadang aku mencoba untuk memecahkan teka-teki di balik mimpiku itu. Tapi sangat susah…
Aku tidak menceritakan mimpiku ini kepada Massu-niichan, dan Shori juga tentunya. Aku takut, itu akan membuat mereka khawatir terutama Shori.

            “Chi-chan?” Shori menepuk pundakku sekali. Aku baru sadar kalau aku melamun. Aku menengok pada Shori yang ada di sampingku lalu mengembangkan senyum. “Kau pucat juga kau memiliki kantung mata? Ada apa?” tanyanya curiga.

            “Tidak, tidak, aku tidak apa-apa. Ah.. mungkin aku lapar, aku akan pergi ke kantin!” aku langsung pergi sebelum ia sempat menanyakan hal baru lagi padaku.

Aku sadar aku terkadang menghindar dari pertanyaan Shori. Aku tidak mau kalau aku sampai keceplosan membicarakan mimpi itu. Kalau Shori tahu, dia pasti akan berada di dekatku 24jam. Dia pernah memaksa menginap di rumahku hanya karena aku parno karena habis menonton film horror di bioskop bersamanya. Itu sedikit mengganggu.

 Tapi aku juga ingin tahu tanggapannya mengenai mimpiku, tapi mungkin belum saatnya sekarang.
Aku sekarang berjalan bukan untuk pergi ke kantin, tapi ke halaman belakang sekolah. Di sana ada satu bunga yang sengaja kutanam diam-diam, bunga matahari. Setiap harinya aku selalu menyempatkan untuk melihatnya dan menyiraminya. Tapi anehnya, aku terkadang lupa menyiraminya, tapi esok saat aku mengeceknya bunga itu tak layu masih tetap indah. Apa mungkin ada orang yang menyadari keberadaan bunga matahariku?

Aku suka bunga itu, mungkin setiap melihatnya, aku seperti melihat Shori.

Shori adalah matahariku, dia tidak pernah menyerah dan selalu berdiri tegak dalam menghadapi apapun. Sama seperti bunga matahari yang kutanam, bunga itu tidak pernah sekalinya menunduk, dia selalu tegak dalam situasi apapun. Sama seperti Shori, bukan?

Saat sampai di sana, aku melihat seseorang sedang menyiraminya. Dugaanku benar kalau ada orang yang menyadari bunga itu di tempat persembunyannya yang kuanggap sudah sempurna.

Aku mendakatinya dan ingin mengucapkan terimakasih padanya. Tapi saat aku menepuk punggungnya yang tinggi—membuatku sedikit menaikkan kakiku, dia kaget bukan main.

            “A-ah!!” teriaknya kaget. Aku hanya diam dan memiringkan kepalaku. “Masuda-san..” ucapnya pelan. Dia mengetahui namaku? Sekilas aku sempat curiga padanya, tapi rasa curiga itu hilang saat aku melihat senyum ada di wajahnya. Senyumnya indah—walau tidak seindah milik Shori.

            “Terimakasih…sudah mau menyirami bunga ini..” ujarku lalu mengulurkan tanganku padanya. Dia menjawab uluran tanganku itu. Kami sama-sama tersenyum kecil. “Namamu?” aku melepaskan uluran tangan kami, lalu kembali tersenyum padanya.

            “Kamiki Ryunosuke, senang berkenalan denganmu.”

Dia memiliki yang rambut. Matanya menunjukan kalau dia adalah orang yang periang. Dan senyumnya tidak bisa kujelaskan. Badannya cukup tinggi hingga aku harus mengangkat wajahku untuk melihatnya, dan itu membuat kepalaku sakit.

Ini memang salah satu hobby-ku—mengamati orang-orang.

            “Aku—“ aku belum selesai menyelesaikan kata-kataku pada Kamiki. Aku terhenti oleh Shori yang memanggilku dari belakang. Dan dia kini sudah ada di sampingku—larinya cepat sekali….

            “Chi-chan, kau kenal Kamiki?” tanya Shori sambil menunjuknya.

            “Kami baru saja berkenalan.” Jelas Kamiki pada Shori.

Jadi, Shori juga kenal Kamiki? Kenapa dia tidak bilang padaku ya? Aku memperhatikan mereka berdua. Wow, lihat selisih tinggi mereka! Shori kalah telak. Setelah memikirkan itu, aku langsung menundukkan kepalaku lalu tertawa terkikik. Mungkin mereka berdua sekarang sedang bingung, dan memandangku dengan pandangan aneh. Aku tidak berani melihat wajah mereka sekarang, terutama Shori, pasti akan membuat tawaku semakin keras.

Aneh, kali ini aku yang tertawa puas mengejek Shori. Padahal biasanya, dia selalu ada ide untuk menjelekkanku. Tapi mungkin aku tidak usah memberitahukan pikiranku ini pada Shori. Aku belum pernah mengejeknya, mungkin dia akan marah atau mungkin cuma diam.

Shori orang yang sulit dibaca isi hatinya, dan aku susah mengerti dirinya. Shori periang, tapi terkadang juga pendiam—walau jarang sekali. Ya, dia orang yang sulit untuk ditebak.

Entah apa aku keterlaluan tertawa atau terlalu lama tertawa, sampai terdengar desahan dari Shori. Dia merangkulku dengan sebelah tangannya, lalu membungkam mulutku dengan tangan yang melingkar di bahuku itu. Otomatis, aku menghentikan tawaku itu dan melirik kesal ke arah Shori.

            “Yak. Kami akan kembali ke kelas. Kamiki, trimakasih.” Kata Shori, lalu tersenyum pada Kamiki. Kulihat senyum itu berbeda dari senyum biasa Shori. Senyum yang aneh, seperti memaksakan untuk senyum? Tidak, dalam senyum itu seperti memiliki makna. Seperti berharap? Ya, Shori seperti berharap pada Kamiki. Tapi apa ya? Apa cuma pemikiran konyolku saja?

Tangannya merangkulku dengan erat, aku mencoba melepaskannya, tapi tidak bisa dengan tenaga lemahku ini. Shori menggeretku bukan ke jalan kelas seperti yang dibilangnya ke Kamiki, tapi ke atap sekolah.

            “Hei, bukannya kita harus ke kelas? Pelajaran ke-5 sudah dimulai.. Ini pelajaran seni..”kataku pada Shori, tapi sepertinya dia tidak menggubrisku. Kali ini aku memandangnya dengan wajah sedikit sebal. Pelajaran ini adalah pelajaran yang kusukai, seni. Aku bisa menuangkan pikiranku dan imajinasiku pada selembar kertas, pelajaran yang asik, bukan?

            “Kau Cuma suka memandang guru paruh waktu itu, bukan? Tegoshi-sensei…” jawabnya. Tidak juga, aku memang suka pelajaran seni….memandang Tegoshi-sensei itu…tujuan keduaku. Hehehehe, aku tidak berani bilang ini pada Shori. Bisa-bisa dia marah. “Tidak apa-apa tertinggal pelajaran itu. Kita beruntung, semua orang sekarang sedang ada di kelas. Cuma kita yang akan di atap.” Lanjut katanya dengan percaya diri.

            “Heh?!” Ya, atap sekolah memang sepi. Tapi, ini membuatku deg-degan.

Shori melepas rangkulannya saat kami tiba di atap sekolah. Entah kenapa, langit hari ini indah. Banyak awan yang terbentuk di langit, membuatku takjub. Langit seakan terlihat lebih dekat hari ini.

Shori membuatku kaget, dia mendadak memelukku yang sedang asik mengamati langit. Semakin lama pelukannya semakin kuat. Aku membalas pelukannya itu. Kami berpelukan lama sekali dan kami terdiam dalam pelukan ini.
Hari ini aku merasa Shori aneh sekali. Mulai dari senyumnya tadi yang masih menyisakan rasa penasaran padaku, pelukannya yang lama sekali, dan pelukan itu kembali dingin. Tubuh Shori yang dulu sempat hangat, kini kembali menjadi dingin.

Aku mulai terhanyut pada pelukannya itu. Namun tiba-tiba, Shori melepaskan pelukannya. Dia memandangku, dengan wajah sedih sendu. Aku tidak tahu apa arti wajahnya itu. Banyak hal yang belum kumengerti dari Shori. Dan aku merasa seperti ada yang disembunyikannya padaku. Aku tidak bertanya hal itu padanya, aku menunggunya mengatakannya padaku.

            “Jangan khawatirkan aku nantinya..” ujar Shori menggenggam tanganku. Shori terlihat lesu, sangat lesu hari ini. Seperti matahari yang redup tertutup awan.

            “Shori, ada apa? Kau..aneh..” ujarku padanya. Kini Shori melepas tangannya dariku. Dia memandangku lama sekali. Kemudian Shori meraih rambutku dan menyibaknya ke belakang telingaku. Kulihat dari tadi, dia seperti ingin bicara sesuatu. Tapi entah kenapa, seperti ada sesuatu yang menghalanginya. “Shori?” kembali tanyaku.

            “Chii-chan, suatu hari pasti akan tahu. Aku yakin karena kau jenius.’’ Jawabnya dengan tawa kecilnya itu. “Dan nantinya, akan terasa seolah-olah aku tak pernah ada..” lanjutnya.

Kata-kata itu membuatku kaget. Yang diucapkan Shori sekarang sama persis dengan apa yang diucapkannya di dalam mimpiku. Aku mengerutkan keningku tidak percaya akan hal ini. Jika dipiikir, seperti ini adalah hal yang mustahil. Apa mungkin mimpiku itu akan menjadi kenyataan? Mimpi dimana Shori terbaring lemah di rumah sakit itu…tidak mungkin akan terjadi, kan?!

Shori tidak mungkin akan…tidak mungkin mimpi konyolku itu nyata, kan?

 “Tidak mungkin!” teriakku tidak sadar. Aku terlalu terbawa oleh emosiku sekarang. “Jangan-jangan Shori seperti yang ada di mimpiku akhir-akhir ini?! Tidak mungkin, kan?!”

Shori melihatku dengan pandangan yang kaget. Mungkin nada bicaraku padanya terlalu berlebihan. Aku memang sadar akan hal itu, tapi emosiku saat ini memang tidak stabil.

Shori kembali memelukku. Namun, Shori sama sekali belum menjawab pertanyaanku itu tadi. Dan aku mulai curiga padanya. Jangan-jangan memang ada rahasia yang disembunyikannya selama ini? Dan aku tidak bias apa-apa saat ini. Lalu Shori pun melepas pelukannya itu.

            “Memang apa yang kau pikirkan?” tanyanya padaku. Terlihat Shori seperti tertawa, ya, terdengar tawa dari Shori. “April Moop!”

April Moop, jadi aku tertipu? Aku memasang wajah tidak percaya padanya.

Padahal aku sudah sangat takut dan khawatir soal mimpiku yang akan jadi nyata itu?
Tapi Shori tiba-tiba mengerjaiku?

            “Shori, ini bukan bulan April. Ini bulan November.” Jelasku memasang wajah sebal padanya.

            “Kalau begitu, November moop!” ulangnya.

            “Jahat!” kataku sebal padanya. Mungkin Shori tahu kalau aku kali ini aku sebal padanya. Mungkin terlihat dari wajahku dan juga nada bicaraku. Shori mencubit kedua pipiku dan bermain pipiku dengan kedua tangannya itu. Itu sedikit membuat rasa sebalku hilang. Kini kami mengganti suasana suram tadi dengan keceriaan. Kami bercanda hingga lupa kalau kami harus segera kemballi ke kelas.

Tapi…
Dingin, tangannya yang menyentuh wajahku tadi lebih dingin dari biasanya. Dia seperti es beku. Suhu orang normal tidak mungkin seperti ini, bukan? Ini terlalu aneh. Aku sedikit khawatir padanya. Tapi Shori sama sekali tidak mau bercerita kepadaku.

Terkadang saat melihatnya tersenyum, aku malah merasa sedih. Suhu tubuhnya-lah yang membuatku sedih. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan Shori. Tapi, tidak ada yang bisa kuperbuat untuknya, sama sekali tidak ada. Aku mencoba menyembunyikan perasaan sedih dan khawatirku itu. Aku takut hal sepele seperti ini akan merusak hubungan kami. Jadi, mungkin lebih baik kalau aku merahasiakannya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari ini, kami mulai libur musim dingin. Pasti akan sangat menyenangkan menghabiskan liburan dengan Shori. Aku banyak memikirkan hal-hal yang bisa kami lakukan bersama untuk menghabiskan liburan kali ini. Dan kami pun ada janji hari ini. Shori akan menunjukan sesuatu padaku, Shori sangat bersemangat saat mengatakan hal itu padaku.

Ponselku bordering saat aku sedang asik memilih bajuku hari ini. Terdengar dari dering lagunya, itu adalah panggilan dari Shori. Mungkin sekarang Shori sudah ada di luar rumah. Aku mempercepat memakai pakaianku dan berlari kecil keluar dari rumah. Karena hari ini semua orang di rumah sedang tidak ada dan sibuk, jadi aku bisa bermain sepuasnya dengan Shori.

Aku mengunci pintu rumah dan segera menghampiri Shori yang sedang menungguku.

Shori terlihat sangat keren. Lebih dari biasanya.

Clik!

            “Hei, apa-apaan itu?!” protesku saat dia mengambil fotoku dengan kamera yang dipegangnya. Shori tidak menjawab dan hanya terkikik melihat hasil dari foto tadi. Aku segera menghampirinya dan mengambil kameranya. Di foto ini aku terlihat jelek sekali! Dengan cepat aku segera menekan tombol delete .

            “Itu kan bagus! Jangan dihapus dong!” katanya lalu mengambil kamera miliknya itu dari tanganku.

            “Aku jelek disitu!” protesku kembali.

            “Bukannya Chii-chan memang jelek?hahahaha.” Aku tidak menggubris kata-katanya barusan. Cukup memasang wajah sebal padanya.

Kami berjalan menuju tempat yang dibicarakan Shori sambil bercanda. Jalan yang kami lalui tidak terlalu asing bagiku. Tempat yang sedikit gelap dan kami melewati gang kecil. Oh! Ini seperti jalan yang kami lewati saat kami pergi ke padang rumput yang tidak terlalu luas dulu.

Ini kedua kalinya Shori mengajakku kesini. Padahal tempat ini sangat bagus. Kenapa dia tidak sering-sering mengajakku?
Tiupan angin yang sepoi-sepoi menyejukkan pikiranku. Sungainya yang masih tetap jernih menyilaukan mataku. Dan kini saat kupandang wajah Shori, ia tampak bersinar terang..seperti matahari.

Aku mengambil kameranya yang selalu dipegangnya itu. Lalu manaikkan kamera sejajar dengan mataku dan memotret wajah Shori tanpa pikir panjang. Cahaya kamera tampaknya membuat matanya berkedip. Kulihat hasil potretanku itu dan sangat bagus seperti bayanganku.

            “Shori, kau keren disini.” Pujiku padanya. Shori mengambil kembali kameranya dan melihat dirinya yang terpajang di dalam kamera itu.

            “Ya..aku memang keren!” katanya yang masih tetap memperhatikan kameranya.

            “Shori, ini musim dingin, kan? Tapi kenapa udara di sini tidak terlalu dingin?” ujarku mengalihka topik pembicaraan.

            “Aku juga tidak tahu itu. Lagipula itu tidak penting, kan? Karena yang penting adalah kita berdua.” Kata-katanya barusan membuatku jantungku tidak beraturan. Ditambah nada suaranya yang berubah menjadi lembut. “Tutup matamu..” lanjut katanya.

Dengan cepat aku menutup mataku. Shori mendekatkan wajahnya padaku. Ya, aku tahu itu karena aku dapat merasakan napas dinginnya yang semakin lama mendekat padaku. Dia akan menciumku kembali?
Tapi napas Shori semakin lama semakin menjauh. Dan aku mulai membuka mataku perlahan..dan..

Plak!

            “Apa ini?” Tanyaku saat sebuah buku mendarat dengan keras di wajahku. Aku mengambil buku itu, buku yang lumayan tebal. Pantas saja rasanya sakit sekali.

            “Novel, aku harap kau mau membacanya. Ceritanya sangat keren!” katanya sambil memberikan novel itu padaku.

            “Doko ni demo aru uta…” kataku membacakan judul dari novel yang diberikan Shori. “Sejak kapan Shori suka novel?” lanjut tanyaku mengintrogasi. Setahuku Shori tidak suka membaca buku selain komik. Dan aku tidak pernah melihatnya membaca buku.

            “Ah…itu..karena ceritanya menarik. Yah! Sudah, Chii-chan baca saja!” katanya sedikit kesal.

            “Dan juga, Shori sekarang jadi menyukai memotret sesuatu ya? Shori, kau aneh akhir-akhir ini.. Ada sesuatu, kan?” kembali muncul pertanyaan dariku. Melihat tingkahnya yang berbeda dari biasanya sedikit membuatku aneh.  Jarang-jarang sekali Shori melakukan hal seperti ini.  Aku terus melototinya sampai dia mau menjawab pertanyaanku.  Dan dia terlihat risih dengan hal itu.

            “Iya! Aku suka memotret karena aku ingin menemukan sesuatu yang tidak bisa terlihat olehku selama ini.”

            “Shori keren..”

Aku sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud oleh Shori. Tapi aku tidak ambil pikir panjang soal itu. Karena seperti yang Shori bilang tadi, yang penting adalah kami. Yang penting aku bisa bersama Shori itu sudah lebih dari cukup.

Setelah seharian menghabiskan waktu di padang rumput itu, kami pulang. Dan karena hari ini sangat dingin, aku minta agar Shori pulang ke rumah tanpa harus mengantarku pulang. Rumah Shori dari sini lebih dekat daripada rumahku. Aku tidak ingin Shori kedinginan, apalagi Shori hanya mengenakan jaket tipis tanpa pelengkap apapun.

Saat perjalanan pulang, banyak yang teripirkan olehku. Dan semua tentang Shori. Di dalam kedinginan ini, aku masih bisa merasakan tangan Shori yang bahkan lebih dingin daripada udara saat ini.

Uhh~ aroma tangannya masih tertinggal disini. Harum, harum sekali.

Saat aku sampai di rumah, seluruh orang berkumpul diruang keluarga. Mereka melihatku dengan tatapan aneh, termasuk Massu-niichan.

            “Ada apa?” tanyaku sambil berjalan menuju kamarku meninggalkan mereka. Tapi tiba-tiba Massu-niichan memegang bahuku, menghentikanku untuk berjalan ke kamar.

            “Sato-kun.. aku baru saja mendapat telepon dari orangtuanya. Dia baru saja dibawa ke rumah sakit.” Jelas Massu-niichan padaku.

            “Aku akan kesana!” kataku sambil berlari pergi ke luar menghampiri Shori. Padahal Shori baru saja pergi bersamaku tadi, bukan? Padahal tadi dia kelihatan sangat sehat.

            “Jangan! Tidak bisa dijenguk saat ini!” kata Massu-niichan mecoba menghentikanku berlari. Dia menggenggam tanganku erat, terasa sangat perih. Tapi aku melepaskan tangan Massu-niichan dengan kasar dan pergi begitu saja ke luar. Pasti Massu-niichan kecewa padaku. Tentu saja, ini pertama kalinya aku tidak mematuhi apa yang dikatakannya.
Dan aku pasti tidak akan tega untuk melihat wajahnya saat ini..

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berlari.. Yah, aku berlari dengan sekuat tenaga. Melarikan diri dari kenyataan yang ada di depanku. Dan aku tidak tahu aku kemana tujuanku berlari. Aku hanya mengikuti perasaanku saja. Perasaan yang meluap-luap tak beraturan.

Aku sadar, kini aku berada di sebuah taman kecil. Begitu sunyi dan menyeramkan di saat malam hari. Berbeda jauh dengan taman saat siang hari yang dipenuhi oleh anak kecil yang bermain. Mungkin tempat ini yang cocok untukku sekarang.

Aku menghampiri ayunan yang ada di tengah-tengah taman ini. Dan aku duduk disana. Aku lelah, sangat lelah. Tanpa sadar aku tertidur di ayunan itu untuk beberapa saat sebelum dia membangunkanku.

Aku merasakan sesuatu mengguncang tubuhku dan meneriakiku. Tapi aku tidak bisa membuka mataku. Terlalu lelah untukku agar bisa membuka mata. Tenagaku sudah terkuras habis saat aku berlari kencang meninggalkan rumah tadi.
Lalu teriakan dan guncangan itu berhenti dan kini aku merasakan kehangatan menyelimutiku. Iya, sangat hangat. Membuatku nyaman di udara yang sangat dingin ini.

            “Hei, bangun.. Masuda-san?” kini yang terdengar olehku adalah kata-kata lembut itu. Aku sedikit membuka mataku, dan kulihat bayang-bayang seseorang walau tidak jelas terlihat olehku.

            “Shori..”

            “Bukan. Aku Kamiki..” jawabnya. Tapi aku masih belum sepenuhnya sadar. Dan hanya kata-kata melantur yang terucapkan olehku. Kurasakan dia semakin memelukku erat. Nafasnya terasa di dahiku. Dan kehangatan tubuhnya menyalur kepadaku, membatku nyaman untuk tidur. Tapi aku…

            “Ah! Kamiki?!” ucapku kaget saat sadar kalau aku ada di pelukan Kamiki. Aku mendorong tubuhku kebelakang menjauhinya.

            “Maaf, tadi kulihat kau sangat kedinginan.” Sesal Kamiki lalu melilitkan syal miliknya di leherku. Dan dia tersenyum lega padaku. “Soal Shori…”

            “Aku sudah tahu, dia ada di rumah sakit, bukan?” ujarku memutus kata-kata yang akan disampaikan Shori.

            “Bukan hanya itu, tapi dia sedang……koma.” Katanya lanjut.

            “Jangan bercanda..”

            “Aku tidak sedang bercanda.”

Aku hanya bisa mematung melihat Kamiki yang ada tepat di depanku.

Terakhir aku bersama Shori, dia baik-baik saja..

Dan ini hanya gurauan, bukan?

Tanpa sadar aku menangis di hadapan Kamiki. Aku malu sekali tapi, air mataku memang tidak bisa kukendalikan. Mengalir begitu saja. Tapi aku mencoba menghentikan tangisanku ini.

Tapi tangan hangat Kamiki menyentuh kedua pipiku. Menghapus air mataku dengan tangannya itu. Sejenak aku merasa nyaman ada di dekat Kamiki.

Kemudian Kamiki mengembangkan senyumnya yang manis itu dan berkata padaku..

            “Tidak apa-apa. Menangislah, karena kau memerlukan itu saat ini.”


*tsuzuku



5 komentar:

  1. uwaa~ chia~ kasihan banget nasibnya..hohoho
    kamikinya ganteng~ :3

    BalasHapus
  2. walah, hahaha
    iya kamiki emang ganteng, sampe aku ga bisa tidur XD

    BalasHapus
  3. Wawww~ ada apa dengan Shori??
    huhuhu...
    ayo lanjut...
    Tegoshi-sensei jadi guru seni?? gak salaaahh?? #Plakk
    ehehehe...

    BalasHapus
  4. walah, pengennya.. tp ideku ilang semua wkwkwk nunggu lama~~
    eh......oh iya ya! aku baru sadar yg ak tulis itu seni..engga cocok bgt sama aslinya hahahaha

    BalasHapus
  5. hahaha, lanjutannya aku tunggu ya..
    jangan lama-lama~ :D

    BalasHapus

Pengikut