Tittle :
Blood Tragedy
Author : Fujiwara Chiaki
Genre : Family, Romance, Deathfic
Rating : ~T
Type : oneshot
Cast : Nanajima Rin(OC)
Daiki Arioka
Author : Fujiwara Chiaki
Genre : Family, Romance, Deathfic
Rating : ~T
Type : oneshot
Cast : Nanajima Rin(OC)
Daiki Arioka
Summary :
dia selalu menyimpan dendam pada ibunya hingga pada akhirnya sesuatu terjadi
dan dendam itu pun tak bisa disimpan lebih dalam lagi.
A/N. :
ini pertama kali coba bikin genre family. Permasalahannya masih sepele dan
membosankan—menurutku— Disini Daiki juga ga terlalu banyak muncul, karena aku
paling fokusin ke kisah family si OC nya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bagaimana jika kau tidak
dianggap oleh keluargamu?
Bagaimana jika okaasan
tidak peduli dan sangat kejam? Otousan sibuk dengan urusan pekerjaan di luar
negeri? Kakak yang berubah menjadi tidak peduli denganmu? Adik yang tidak
berguna?
Menyedihkan, bukan?
Mungkin
sebagian besar orang mengalami hal itu. begitu juga dengan gadis bernama
Nanajima Rin. Rin merasa bahwa di dunia ini tidak berguna dan lebih baik mati
bunuh diri.
Berbicara
tentang bunuh diri, itulah yang membuatnya bertemu dengan orang yang
menganggapnya ada. Orang itu mempunyai
kehidupan yang hampir mirip dengan Rin. Dialah yang membuat Rin menjadi berguna
untuk dunia ini dan membuatnya menyadari bahwa masih ada hal menarik di dunia
ini. Dialah... Daiki Arioka.
***Flash
Back***
“Matte!
Jangan nekat!” suara yang tidak terlalu asing bagi Rin itu, seakan mulai
mendekatinya. Rin tidak memperdulikannya
dan tetap berada di tepi atas gedung sekolah dan segera ingin melompat. ‘
Aku sudah tidak tahan disini, perasaan tidak nyaman di dadaku, sudah tidak bisa kutahan lagi’ pikir Rin di hatinya.
Tiba-tiba, terasa cengkraman kuat di lengan kanan Rin. Dengan sepat Rin segera berbalik dan mendapati sosok yang selalu ia perhatikan—sosok yang sangat di-idolakannya— yang mencoba menghentikan tingkah nekat Rin. Dia, Daiki Arioka.
Aku sudah tidak tahan disini, perasaan tidak nyaman di dadaku, sudah tidak bisa kutahan lagi’ pikir Rin di hatinya.
Tiba-tiba, terasa cengkraman kuat di lengan kanan Rin. Dengan sepat Rin segera berbalik dan mendapati sosok yang selalu ia perhatikan—sosok yang sangat di-idolakannya— yang mencoba menghentikan tingkah nekat Rin. Dia, Daiki Arioka.
Betul,
Daiki adalah idola Rin di sekolahan ini. Dia tampan, pintar, dan tingkah
lakunya baik. Rin hanya bisa melihatnya dari kejauhan dan berharap ada
keajaiban kecil yang terjadi. Setiap hari, selalu memperhatikannya, walau dia
tidak sama sekali membalas perhatian Rin. Saat pulang sekolah, Rin selalu pergi
ke lapangan dan melihatnya bermain basket. Dia adalah ketua tim basket di
sekolah, banyak siswi yang juga menyukainya—sama seperti Rin. Dia terlalu
populer di kalangan murid perempuan.
“Hanase!
Hanase yo!” Rin mencoba melepaskan tangan Daiki yang ada di lengannya. Namun
semakin berontak, cengkraman tangan Daiki pada Rin semakin kuat. Akhirnya Rin
menyerah dan menuruti kata Daiki untuk
turun dari tepi gedung sekolah. Rin lemah dan hanya bisa melihat Daiki yang
mencemaskannya.
Rin
sama sekali tidak bisa menolak permintaan Daiki—sama sekali tak berdaya. Jika
berhadapan dengan sosok yang di-idolakan tidak akan mungkin bisa menolak,
bukan?— apalagi jika Rin melihat mata Daiki, mata yang membuat dekup jantungnya
berdetak kencang melebihi detaknya jantungnya yang biasanya.
“Aku
Arioka Daiki, siapa namamu?” tanyanya pada Rin. Dan Rin hanya menjawab
“Rin....Rin Nanajima.”
***Flash
Back End***
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini
adalah bulan Desember. Bulan yang selalu ditunggu orang-orang setiap tahun. Bulan penuh hadiah, coklat dan
permen kesukaan Rin. Bulan dimana ada pohon Natal yang selalu menyinari—dengan
cahaya dari lampu kecil yang beragam warna yang menghiasi tubuh pohon Natal.
Namun
kali ini, terlihat Rin sangat tidak bersemangat. Otousan adalah satu-satunya
yang cukup peduli dengannya, dan dia tidak bisa pulang kerumah. Natal kali ini
mungkin Natal yang sepi bagi Rin.
Tepatnya, hari ini tanggal 17 Desember, adalah perayaan Natal di gereja. Rin dan keluarganya datang bersama, mungkin Rin cukup senang. Tapi, satu yang membuatnya tetap kecewa pada mereka.
Oniichan tiba-tiba saja pergi dan duduk disebelah kekasihnya. Adik-adiknya langsung bermain dengan teman-temannya. Hanya Rin dan Okaasan.
Rin pikir okaasan akan terus bersamanya, namun dipertengahan acara dia pergi. Rin sempat mendengarkan pembicaraan okaasan saat menerima telepon. Dia akan pergi ke rumah selingkuhannya.
Tepatnya, hari ini tanggal 17 Desember, adalah perayaan Natal di gereja. Rin dan keluarganya datang bersama, mungkin Rin cukup senang. Tapi, satu yang membuatnya tetap kecewa pada mereka.
Oniichan tiba-tiba saja pergi dan duduk disebelah kekasihnya. Adik-adiknya langsung bermain dengan teman-temannya. Hanya Rin dan Okaasan.
Rin pikir okaasan akan terus bersamanya, namun dipertengahan acara dia pergi. Rin sempat mendengarkan pembicaraan okaasan saat menerima telepon. Dia akan pergi ke rumah selingkuhannya.
Kini,
Rin duduk sendiri di bangku yang paling belakang. Rin melihat oniichan yang
duduk bersama kekasihnya di bangku yang lebih depan dari Rin. Saat itu sekilas,
oniichan juga melihat ke arah Rin dengan pandangan sedih.
‘Mungkin dia tahu, aku saat ini sendiri. Aku harap oniichan mau duduk disebelahku, tapi itu mustahil’.
‘Mungkin dia tahu, aku saat ini sendiri. Aku harap oniichan mau duduk disebelahku, tapi itu mustahil’.
Air
mata Rin tiba-tiba menetes. Rin bergegeas pergi ke toilet dan segera mengambil
keitai-nya dalam saku rok dan menelpon Daiki untuk datang untuk menjemput Rin.
“Daiki..”
kata Rin dengan sedikit terisak sambil berjalan menuju Daiki yang berada di
dalam mobil. Rin berusaha mencoba menyembunyikan perasaannya—perasaan sedih
karena keluarganya— saat ini pada Daiki. Perlahan Daiki menarik Rin ke dalam
pelukannya, ini membuatnya sedikit menjadi tenang.
“Mereka
meninggalkanmu lagi?” tanya Daiki yang masih tetap memeluk Rin erat. Rin hanya
menjawabnya dengan anggukan. Lalu, Daiki melepaskan pelukannya dan menghela
nafasnya. “Daijyoubu, ada aku.” Lanjut ucapnya. Daiki mendekatkan wajahnya dan
menciumi bibir lembut Rin dan meninggalkan beberapa bekas luka di pinggir bibir
Rin.
“Ah,
gomen..”kata Daiki seusai melepas ciumannya. Rin menggelengkan kepalanya meraih
wajah Daiki. “Tidak apa-apa.” Bisik Rin di telinga Daiki yang lalu kembali
membuat bibir mereka bersentuhan. Sentuhan bibir Rin membuat naluri lelaki yang
dimiliki Daiki terpancing.
Dengan
perlahan Daiki meraih kerah baju Rin dan membuka satu kancing bajunya. Tidak
hanya meninggalkan bekas luka di sekitar bibir Rin, namun Daiki juga berniat
membuat bekas luka di sekitar leher Rin dan dadanya yang kini separuh
telanjang. Kini Daiki kembali meraih bibir Rin dan menciumnya kembali. Meraba
bibir Rin dengan lembut dan memperdalam ciuman mereka. Ciuman Daiki semakin
melonggar dan akhirnya Rin memutuskan ciumannya itu. Sudah hampir 20 menit
mereka melakukan itu dan membuat Rin nampak sedikit tidak bertenaga.
Seperti
biasa, Rin sama sekali tidak menolak. Saat Daiki menciumnya pun, Rin hanya bisa
menurutinya. Sampai kapanpun, Rin tidak akan pernah menolaknya, mungkin ini
karena Rin menganggap Daiki sebagai penyelamatnya. Kalau bukan karena Daiki
yang menghalanginya bunuh diri saat lalu, Rin tidak akan bisa merasakan
kebahagiaannya bersama Daiki saat ini.
“Tsukareta..”
desah Rin manja pada Daiki.
“Rin,
besok pergilah denganku.” Ajak Daiki dengan disertai anggukan pelan dari Rin.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sinar
matahari pagi yang masuk melalui celah jendela membuat Rin terbangun dari
tidurnya. Segera Rin menoleh ke arah jam dan melihat jam tepat berada di angka
9. Dengan cepat Rin membersihkan diri dan memilih pakaian untuk dipakainya saat
bertemu dengan Daiki nantinya.
09.30,
Rin siap pergi dengan membawa tas kecilnya dan memakai sweater dipadukan dengan
rok merah pendek. Saat ini Rin siap untuk pergi dan akan membuka pintu
kamarnya.
Belum
satu langkah ia keluar dari kamarnya terdengar suara gaduh di dapur. Tanpa
pikir panjang, Rin segera menuju sumber gaduh itu dan melihat adik-adiknya
bertengkar—kedua adiknya membawa pisau dapur dan saling berkelahi dan itu
membuat Rin sangat panik. Rin yang terkejut melihatnya segera lari menemui
okasaan.
“Okaasan!
Okaasan! Mereka bertengkar lagi!” teriak Rin sangat keras. Namun, sang ibu sama
sekali tidak menanggapinya dan tetap asik berbicara dengan orang lain lewat
keitai miliknya. Rin menarik baju okaasan-nya, dan sebuah tamparan yang cukup
keras mendarat di pipi kanan Rin.
“Kau
berisik sekali!” bentak okaasan pada anaknya itu yang sekarang sedang menangis
kesakitan. Bukan hanya sakit karena tamparan dari okaasan, namun hati Rin juga
sangat sakit melihat ketidakpedulian okaasan pada anak-anaknya.
“Kau
mau kemana?! Kau tidak di-ijinkan untuk keluar rumah tahu!” sekali lagi bentak
okaasan. Rin hanya menoleh ke sampingnya
dan melihat oniichan berdiri di sana, berharap oniichan akan membelanya. Tapi
harapan Rin sama sekali tak terkabul saat ponsel oniichan berdering, oniichan
langsung pergi.
“Tapi,
aku sudah ada janji..” Rin ingat bahwa pukul 10 ia harus segera bertemu Daiki.
Rin memohon dengan begitu keras sampai
akhirnya kemarahan Rin tak bisa ia tahan. “Kau bukan okaasan-ku! Kau iblis!”
sekali lagi kata-kata yang keluar dari mulut Rin. Hal ini semakin membuat
kemarahan okaasan menjadi-jadi.
Tak
hanya tamparan yang kini diterima Rin, namun juga pukulan yang keras dari
okaasan dan luka akibat tersayat benda tajam. Akhirnya Rin hanya bisa
tergeletak lemah di lantai yang dipenuhi darahnya. Pengelihatan Rin menjadi
berkurang dan nafasnya menjadi tidak stabil. Rin benar-benar tidak berdaya,
yang bisa ia lakukan saat ini adalah, menunggu sang penyelamat datang
kepadanya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah
berjam-jam Daiki menunggu di luar rumah Rin, namun Rin sama sekali tidak
terlihat oleh matanya. Kecemasan Daiki semakin besar saat melihat okaasan Rin
keluar dengan wajah yang menakutkan. Daiki menunggu kesempatan saat okaasan Rin
segera pergi dengan selingkuhannya. Pada saat itu, Daiki akan masuk kerumah Rin
tanpa sepengetahuannya. Beberapa menit kemudian sang okaasan pergi, dengan
cepat Daiki berlari masuk melalui jendela rumah Rin.
“Rin!!”
raut muka Daiki berubah seketika saat melihat Rin yang dipenuhi dengan cairan
kental berwarna merah—darah— itu menyelimuti tubuh kecil Rin. Daiki
menghampirinya dan membawanya ke kamarnya lalu membaringkannya di tempat tidur
Rin.
“Rin, okirou!” kepanikan Daiki membuatnya tidak bisa berfikir positif. Daiki kini sangat bingung dengan apa yang harus diperbuatnya. Daiki membersihkan luka Rin dengan membasuhkannya dengan air dan kemudian membalutnya dengan perban. Lalu meletakknya air dingin di bekas tamparan yang sangat merah itu.
“Rin, okirou!” kepanikan Daiki membuatnya tidak bisa berfikir positif. Daiki kini sangat bingung dengan apa yang harus diperbuatnya. Daiki membersihkan luka Rin dengan membasuhkannya dengan air dan kemudian membalutnya dengan perban. Lalu meletakknya air dingin di bekas tamparan yang sangat merah itu.
Beberapa
jam kemudian Rin sadarkan dirinya. Rin merasa sakit akan lukanya—luka akibat
sayatan benda tajam dan beberapa pukulan di tubuhnya— kini berkurang. Sekilas
kepalanya menjadi sangat sakit. Rin menolehkan kepalanya dan melihat Daiki
tertidur di sampingnya. Kini sedikit senyum tampak menghiasi wajah Rin yang
penuh luka itu. Sakit yang ia rasakan tergantikan saat melihat Daiki
disampingnya.
“Daiki...arigato.”
bisik Rin pada Daiki. “Douitashimazite” balas Daiki.
“Eh,
Daiki sudah bangun?!” Rin seketika terkejut. Wajahnya kini memerah setelah
mengetahui Daiki terbangun.
“Aku
hanya pura-pura tidur saja. Rin, bagaimana kondisimu sekarang?” tanya Daiki
sambil mengambil segelas air putih yang berada di meja yang tak jauh dari mereka
lalu memberikannya pada Rin.
“Tidak
apa-apa. Jangan cemaskan aku. Ini sudah biasa.” Rin mengambil segelas air itu
dari Daiki. Terlihat Rin tersenyum dengan terpaksa, mencoba membuat Daiki
percaya dengan perkataannya barusan.
“Bagaimana
bisa ‘tidak apa-apa’ ?! Rin tidak
bisa terus tinggal disini. Tinggalah bersamaku di apartement!” ujar Daiki. “Aku
mencemaskanmu, Rin!” lanjut katanya. Tangan Daiki kini meraih tangan Rin dan
berharap Rin kali ini mau mendengarkannya. Rin sejenak terdiam, tidak membalas
perkataan Daiki. “Rin, kali ini dengarkan nasihatku!” Daiki tak henti-hentinya
meminta Rin, tangannya semakin kuat memengang tangan Rin.
“Hounto
ni, atashi wa daijyobu.” Rin melepaskan tangan Daiki dan memeluk Daiki. Melihat
reaksi Rin dengan tubuhnya yang bergetar seakan ketakutan, Daiki mencoba
membujuknya lebih lembut. Namun pikiran Rin sama sekali tidak berubah, Rin
bersikeras tetap tinggal disini.
“Apa
kau mau mati disini?” bujuk Daiki lagi. “Lama-kelamaan ibumu akan membunuhmu,
tahu!” Rin kembali terdiam setelah mendengar ucapan Daiki barusan. Rin
memikirkan tawaran Daiki dan dampaknya. Setelah sekian lama Daiki menunggu
jawaban dari Rin, akhirnya Rin membuka mulutnya.
“Tidak
apa-apa.” Melihat tatapan Rin yang begitu serius, Daiki mengalah pada Rin.
Daiki tersenyum dan duduk di sebelah Rin. Mencium kening Rin begitu lama.
“Wakatta.
Ganbatte ne.” Ujar Daiki sambil melepaskan ciuman di kening Rin. “Soal aku akan
mengajakmu pergi, sebaiknya ditunda saja. Tubuhmu belum bisa pulih.” Lanjut
kata Daiki yang tetap mencemaskan keadaan tubuh Rin—tubuh yang dipenuhi luka
tidak hanya di tangan, namun kaki juga wajahnya, penuh perban yang
menyelimutinya. Rin hanya bisa menganngguk dan tersenyum pada Daiki.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua
hari berselang setelah kejadian yang lalu. Daiki sama sekali tidak mendapat
kabar lagi dari Rin. Kini perasaannya menjadi buruk—memikirkan hal yang akan
terjadi pada Rin. Mencoba mengirimi Rin email dan menelponnya, namun sama
sekali tidak ada hasil. Jaket yang ia gantung pun ia kenakan dan segera berlari
menuju rumah Rin. Berharap tidak terjadi apapun pada Rin.
Sesampainya
di depan rumah Rin, entah apa, kini perasaan Daiki menjadi lebih buruk melihat
suasana di rumah Rin—suasana sepi, kelam dan juga seperti tak terurus. Kembali
Daiki mencoba menghubungi Rin , mengambil keitai-nya dan segera menekan tombol
kontak Rin.
1
menit...
2
menit...
Sama
sekali tak ada balasan dari Rin.
Daiki
berlari masuk ke rumah Rin. Berusaha membuka pintu rumah Rin yang terkunci
dengan paksa lalu mendobraknya. Dilihatnya sekeliling, benar-benar sunyi, gelap
tanpa ada satu cahayapun yang menyinari dan tak ada siapapun.
Daiki
segera berlari menuju kamar Rin yang berada di lantai atas. Saat Daiki menaiki
tangga, Daiki merasakan di tangannya terdapat cairan yang kental dan berbau
pekat. Dilihatnya tangannya itu dan cairan merah kental itu menyelimuti telapak
tangan Daiki.
.
.
“Darah...?”
Kembali
kini pikiran Daiki semakin tak terkendali dan semakin mencemaskan keadaan Rin.
Begitu banyak darah yang tercecer di tangga yang sedang ia naiki ini.
Pintu
kamar Rin sekarang tepat ada di depan mata Daiki. Daiki meraih gagang pintu
kamar itu dan membukanya dengan pelan.
.
.
.
“Nani ko-re?.....”
Daiki
begitu terkejut hingga tak bisa bergerak. Apa yang Daiki lihat saat ini,
mungkin di luar kepala Daiki. Kamar yang berbau sangat anyir itu membuat Daiki
sedikit mual.
Kamar
yang dipenuhi dengan darah yang menghiasi setiap sudut itu adalah yang pertama
kali bagi Daiki melihat tragedi ini. Di ujung ruangan tampak 2 orang bertubuh
kecil dan 2 orang bertubuh dewasa tergeletak dipenuhi darah, darah yang
perlahan-lahan menetes keluar dari tangan dan tubuh mereka. Mereka adalah kedua
adik Rin, oniichan dan juga otousan Rin.
Lamunan
Daiki terhenti saat mendengar suara teriakan dari arah yang berlawanan. Segera
ia mendekat menuju arah suara yang ia dengar, suara yang sangatlah tidak asing
lagi baginya—suara yang sangat nyaring yang hampir ia dengarkan setiap harinya—
yaitu suara dari Rin.
“Rin!” teriak Daiki saat melihat Rin menangis dengan
tubuh berbalut darah. Daiki mengambil sapu tangannya yang tersimpan rapi di
kantong jaketnya dan segera membersihkan darah yang menempel pada Rin.
“Rin, daijyobu? Apa yang
terjadi?”
tanya Daiki sembari membersihkan tubuh Rin. Rin yang masih gemetaran tidak bisa
berkata apapun saat ini.
Pengelihatan
Rin masih belum pulih sempurna karena benturan—yang
sangat keras—
yang terjadi di kepalanya.
Untuk
yang pertama kalinya juga Rin merasakan tubuhnya dipenuhi cairan kental dan
begitu juga sekelilingnya. Tubuhnya yang
bergetar—karena rasa takutnya— tidak mempengaruhi penciumannya akan bau pekat yang
menyebar di seluruh ruangan bahkan seluruh rumah ini.
Dan
untuk yang pertama kalinya, Rin menyaksikan pembunuhan di depan matanya
sendiri. Pembunuh yang begitu kejam dan hasratnya akan membunuh orang membuat
pengalaman baru bagi Rin yang tak akan pernah ia lupakan.
“Daiki...”
Terdengar
isak tangis Rin ketika pengelihatannya semakin memulih. Pemandangan yang baru
sekarang ia bisa lihat dengan jelas.
Pemandangan
yang sangat tidak di-inginkannya.
“Daiki...oniichan to
otousan ga....”
“Daiki..kowai..”
.
.
Kowai....
Itu
mungkin adalah kata yang tepat untuk diungkapkannya saat ini. Kata yang
mencerminkan wajah Rin yang sekarang menggigil ketakutan.
Tidak
ada orang yang tidak mungkin ketakutan saat pertama kali melihat begitu banyak
darah disekitarnya, begitu juga Rin.
“Tenang, aku akan segera
menelpon polisi. Shinpai shinaide, Rin.” Kata Daiki yang juga mencoba menyadarkan Rin dari
lamunannya pun tidak sampai ke telinganya.
Tetap
diam dan terhanyut oleh halusinya adalah Rin yang sekarang. Badannya menggigil
dan tangannya bergetar tidak karuan, membuatnya tidak bisa berpikir jernih saat
ini.
“Daijyobu, koko ni iru
yo.. boku ga Rin no mamoru da yo!”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Brak!!
Suara benturan keras itu
menyadarkan Rin. Suara yang terdengar seperti nyanyian maut itu kembali membuat
Rin merasakan tragedi dalam hidupnya.
“oniichan..”
Isak tangis yang kembali
keluar dari Rin yang masih terdengar samar-samar.
“otousan mo..okirou..”
Rin kembali merasakan
anyirnya bau darah yang ada di tangannya sekarang. Darah yang keluar melalui tubuh
dan kepala oniichan dan otousan-nya. Darah yang berbau pekat dan sangat menusuk
hidung.
Beberapa kali Rin
memanggil nama mereka namun sama sekali tak ada ucap balasan bahkan tak ada
gerakan sedikit pun. Kembali Rin mencoba menyadarkan mereka, seberapa besar pun
Rin mencoba namun hasil yang di dapat tetap tak berubah.
“okirou...onegai..”
.
.
.
.
“Rin..okita..oi,
Rin?!”
Tangan
kanan yang menyentuh pipi kiri Rin, mencoba menyadarkannya dari mimpi buruk
yang selalu Rin alami akhir-akhir ini. Tapi itu belum cukup untuk bisa
membangunkannya dari mimpi maut Rin.
Wajah
Rin semakin pucat, membuat Rin semakin masuk terjerumus dalam mimpi yang selalu
menghantuinya tersebut.
Kini
bisikan serta guncangan di bahu Rin membuat Rin sedikit terbangun.
“Da..i..iki..”
Mata
Rin yang semula tertutup, kini terbuka lebar. Uap air yang keluar melalui
pori-pori membasahi wajah Rin, membuat Rin tampak sangat lesu.
“Itu
hanya mimpi buruk.” Satu helaian nafas lega keluar dari pria bepipi chubby itu.
“Sebaiknya kita cari udara segar saja, ikou..” ajak Daiki menarik tangan Rin.
“Curang.”
satu kata yang keluar dari mulut Rin yang kini membuat mereka berhenti
berjalan. “Kenapa bukan okaasan saja yang mati? Kenapa hanya okaasan dan aku
yang hidup?” lanjut keluh Rin.
“Sama sekali tidak adil.”
Berkali-kali
Rin hanya mengomel tentang kematian dan kehidupan. Selain ada perasaan takut
dan juga sedih—karena kehilangan oniichan, otousan dan adiknya— , namun di hati
Rin tersimpan dendam dan kebencian pada sang okaasan.
.
.
Dendam?
Tentu
saja Rin sangat mengetahui tentang itu. Perasaan dendamnya akan okaasan yang
selalu memperlakukan dengan buruk Rin dan saudaranya. Perasaan yang selalu
dimiliki setiap manusia, perasaan yang akan menimbulkan rasa sakit yang
mendalam pada diri sendiri.
Juga
perasaan yang sangat sulit untuk dihilangkan...
Melihat
Rin dengan wajah seakan memikirkan hal yang menyimpang, tangan Daiki mendekap
kepala Rin—perlahan membuat wajah mereka berdekatan, bahkan dahi dan hidung
mereka bersentuhan.
“Mou
ii yo ne, Rin. Rin yang seperti ini bukan Rin yang biasanya, dan juga bukan Rin
yang kusuka.” Bisikan pelan Daiki sedikit membuat Rin menyadari dirinya.
Benar,
diri Rin yang biasa adalah Rin yang memaafkan dan juga tidak pernah menyimpan
dendam. Semenjak hari itu—hari dimana Rin kehilangan semuanya— , Rin seperti
bukan yang biasanya. Tidak pernah tersenyum lembut, menatap semua orang dengan
tatapan kosong, dan juga selalu mengungkit dendamnya pada okaasan.
Dendam
yang berawal dari itulah yang membuat diri Rin berubah. Semakin lama, dendam
Rin akan semakin besar. Mungkin Daiki mengetahui hal itu dan mencoba membuat
Rin kembali semula.
Tapi mungkin..
Daiki sedikit terlambat..
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hujan
yang membasahi kota Tokyo itu membuat sekujur tubuh Daiki basah kuyup. Hari ini
Daiki kembali menengok rumah tragedi kekasihnya itu—tepatnya rumah Rin— untuk
melihat keadaan Rin sama seperti hari-hari biasanya, namun mungkin Daiki
terlambat beberapa jam karena urusan dengan keluarganya.
Beberapa
detik sebelum Daiki menekan tombol bel rumah Rin, suara tawa yang keras dari
lantai atas membuat kepanikan tersendiri bagi Daiki. Suara yang sudah lama
tidak ia dengar lagi semenjak hari dimana tragedi itu terjadi bagi Rin.
“Suara tawa ibu Rin..”
Tawa?
Apa
yang di-ketawakan oleh ibu gila itu?
Adakah
yang lucu bagi ibu Rin?
Mustahil,
apalagi bagi seorang pembunuh seperti ibu Rin. Tidak akan ada yang bisa
di-tawakan selain saat seorang pembunuh mencium bau yang membuat orang biasa
menjadi mual....bau darah.
Yah,
ibu Rin adalah orang gila yang bisa membunuh keluarganya sendiri. Rin beruntung
karena saat itu Daiki datang di saat yang tepat—saat di mana Rin hampir
terbunuh.
Satu
hari setelah kejadian itu, polisi menangkap ibu Rin karena ia di duga yang
membunuh keluarganya sendiri. Mungkin Rin sedikit lega, namun kali ini tidak.
Ibu Rin berhasil kabur dari sel penjara dan menunggu Rin di rumah tragedi itu.
.
.
.
.
Kini
tubuh Rin menggigil ketakutan melihat okaasan kembali berdiri di hadapannya—dengan
raut muka yang sangat menyeramkan tentunya.
Rin
sama sekali tak berani melihat tatapan mata sang okasaan—melihat wajahnya pun
tidak. Getaran ketakutan Rin semakin besar ketika okaasan tertawa dengan keras.
Tawa yang sepertinya melambangkan kemenangannya.
“Okaasan,
kau akan membunuhku sama seperti yang lainnya?”
Rin
memberanikan dirinya untuk membuka mulutnya dan ingin secara pasti mengetahui
kebenaran bahwa apakah dirinya akan mati di tangan okaasan. Perlahan tangan
okaasan kini memegang wajah Rin dan mengangkatnya agar wajah mereka bertatapan.
Okaasan
menatap Rin dengan tajam dan penuh kebencian juga perasaan balas dendam.
Mungkin karena Rin-lah yang membuatnya tertahan di sel yang kotor dan bau yang
sangat dibenci olehnya.
“Apa?
Mungkin aku memang pernah membunuh dan
itu nikmat sekali. Tapi..Bukankah kau yang membunuh semua keluarga dengan
tangan hina-mu?!” ucapnya dengan suara lantang dan keras.
“Aku
kemari untuk membalaskan rasa benciku karena aku di tahan di penjara karena
kesalahanmu dan karena kau membunuh keluargaku.” Lanjut katanya. Rin sama
sekali tidak mengerti sama sekali maksud dari ucapan okaasan barusan.
Rin
terpaku di tempatnya saat ini. Berusaha mencerna apa yang dikatakan okaasan
barusan. Berusaha mengingat kejadian tragedi itu.
Semakin
Rin berusaha kembali mengingatnya, semakin Rin merasakan sakit di kepalanya
saat ini.
Yang Rin hanya ingat adalah bau anyir dari darah yang membasahi tubuhnya saat itu dan kedatangan Daiki disana.
Yang Rin hanya ingat adalah bau anyir dari darah yang membasahi tubuhnya saat itu dan kedatangan Daiki disana.
Apa yang kurang?
Apa yang terlupakan?
“Okaasan,
apa maksudmu?! Aku sama sekali tak mengerti.” Badan Rin yang menggigil
ketakutan itupun sudah tak ia rasakan kembali. Rin berdiri dengan tegap tepat
berada di depan sang okaasan dan sepertinya berusaha menentangnya.
Perasaan
takut ataupun semacamnya sudah luput dari diri Rin. Getaran aneh yang menjalar
di semua tubuh Rin, getaran yang seakan memberinya keberanian dan kekuatan.
“Kau-lah
pembunuh itu, Rin.”
Ucapan
itu barusan membuat Rin seketika berubah drastis. Sempat Rin tertunduk beberapa
lama sebelum ia...menengadahkan sebuah benda tajam di tangannya, benda yang
selalu ia bawa untuk jaga diri.
Tatapan
mata Rin kini menjadi seperti mata sang okaasan, mata yang haus dan lapar akan
cairan kental yang menjijikan itu. Mata seorang pembunuh.
Perlahan
tapi pasti, Rin berjalan mendekati sang okaasan dengan raut wajah mengerikan
itu. Untuk pertama kalinya, getaran tubuh yang ketakutan dirasakan okaasan. Dan
untuk pertama kalinya, Rin merasakan hasrat untuk membunuh seseorang.
.
.
.
.
.
.
“AAHHH!!!”
Suara
teriakan yang indah bagi telinga Rin itu tak sama terdengar indahnya bagi
Daiki. Daiki yang berdiri di balik pintu dan melihat kejadian itu pun hanya
bisa menutup mulutnya dan menyaksikan hal yang sangat mustahil untuk
dipercayainya.
Segera
Daiki membuka pintu itu—pintu tempat ia bersembunyi— dengan kasar. Suara
benturan itu membuat Rin harus menolehkan dirinya ke arah sumber suara.
Dilihatnya Daiki berdiri dan sepertinya masih sama sekali tak mempercayai bahwa
Rin membuat tangannya dipenuhi oleh darah ibunya itu.
Daiki
berlari ke arah Rin dan meraih tubuh Rin, membuat Rin masuk ke dalam pelukan
Daiki.
Begitu
dekat...
Nafas
Daiki yang mengenai leher Rin, membuat Rin sadar akan dirinya dan apa yang
barusan ia lakukan—mungkin.
“Da...i...iki..?”
ucap Rin pelan. Suaranya yang pelan dan sedikit terisak itu terdengar jelas di
telinga Daiki.
“Apa
benar aku yang membunuh mereka? Jadi aku-lah pembunuhnya..” ucap Rin sekali
lagi, mencoba menyakinkan dirinya dengan bertanya pada Daiki. Tentu saja,
sebagai seorang kekasih, Daiki tidak bisa menjawab apapun atau memberi isyarat
apapun pada Rin. Yang bisa dilakukan Daiki sekarang hanyalah memeluk tubuh
kecil Rin lebih erat lagi.
Tanpa
pikir panjang lagi Rin membulatkan tekadnya untuk yang terakhir kali. Dengan
paksa, Rin melepaskan dirinya dari pelukan Daiki dan berlari menuju mayat yang
baru saja ia bunuh dengan tangannya itu—mayat ibunya. Rin mengambil pisau yang
ia tusukkan ke bagian tubuh ibunya yang tepat berada di posisi jantung. Pisau
berlumut darah itu, ia acungkan kini pada Daiki. Entah apa yang akan kembali ia
perbuat.
Serentak
badan Daiki sama sekali tak bisa digerakkan dan matanya terkunci hanya melihat
pisau yang sedang berada di tangan Rin.
“Rin..Apa
yang kau mau...lakukan?” tanya Daiki yang mulai ketakutan saat Rin mulai
berjalan mendekatinya. Tatapan mata Rin kali ini tidak terlihat seperti mata
pembunuh, tapi lebih seperti terlihat mata sayu dengan pandangan hampa.
“Daiki..gomen.
Mungkin kita akan bertemu, atau mungkin tidak akan.”
Langkah
kaki Rin kini terhenti saat Daiki sudah terpojok antara Rin dan tembok
dibelakangnya.
“Yang
terakhir, Sa-yo-na-ra...” ucap Rin dan diwaktu yang bersamaan Daiki memejamkan
kedua matanya.
.
.
.
Perlahan-lahan
bau anyir itu dirasakan oleh Daiki, membuat kepalanya sedikit sakit karena bau
yang sangat ia benci itu.
Mata Daiki kini terbuka, mencoba melihat situasi kini.
Mata Daiki kini terbuka, mencoba melihat situasi kini.
“Rin,
kau........”
Sebegitu
terkejutnya Daiki karena melihat Rin yang memasukkan pisau itu ke tubuhnya
sendiri. Membuat beberapa darah keluar menetes yang membuat baju Rin yang kini
sebagian berubah menjadi merah.
Rin
mengakhiri dirinya hanya sampai disini.
Mungkin
kehidupan baru Rin akan menyenangkan atau mungkin tidak sama sekali.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Owari’’
gimana..gimana??? kasih tanggapannya X3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar