Sabtu, 11 Februari 2012

fanfic : Blood Tragedy


Tittle                       : Blood Tragedy
Author                     : Fujiwara Chiaki
Genre                      : Family, Romance, Deathfic
Rating                     : ~T
Type                        : oneshot
Cast                        : Nanajima Rin(OC)
                                  Daiki Arioka
Summary                 : dia selalu menyimpan dendam pada ibunya hingga pada akhirnya sesuatu terjadi dan dendam itu pun tak bisa disimpan lebih dalam lagi.
A/N.                         : ini pertama kali coba bikin genre family. Permasalahannya masih sepele dan membosankan—menurutku— Disini Daiki juga ga terlalu banyak muncul, karena aku paling fokusin ke kisah family si OC nya.


okey..douzo~~
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bagaimana jika kau tidak dianggap oleh keluargamu?
Bagaimana jika okaasan tidak peduli dan sangat kejam? Otousan sibuk dengan urusan pekerjaan di luar negeri? Kakak yang berubah menjadi tidak peduli denganmu? Adik yang tidak berguna?
Menyedihkan, bukan?

Mungkin sebagian besar orang mengalami hal itu. begitu juga dengan gadis bernama Nanajima Rin. Rin merasa bahwa di dunia ini tidak berguna dan lebih baik mati bunuh diri.
Berbicara tentang bunuh diri, itulah yang membuatnya bertemu dengan orang yang menganggapnya ada. Orang itu  mempunyai kehidupan yang hampir mirip dengan Rin. Dialah yang membuat Rin menjadi berguna untuk dunia ini dan membuatnya menyadari bahwa masih ada hal menarik di dunia ini. Dialah... Daiki Arioka.

***Flash Back***
“Matte! Jangan nekat!” suara yang tidak terlalu asing bagi Rin itu, seakan mulai mendekatinya. Rin  tidak memperdulikannya dan tetap berada di tepi atas gedung sekolah dan segera ingin melompat.
Aku sudah tidak tahan disini, perasaan tidak nyaman di dadaku, sudah tidak bisa kutahan lagi’
 pikir Rin di hatinya.

Tiba-tiba, terasa cengkraman kuat di lengan kanan Rin. Dengan sepat Rin segera berbalik dan mendapati sosok yang selalu ia perhatikan—sosok yang sangat di-idolakannya—  yang mencoba menghentikan tingkah nekat Rin. Dia, Daiki Arioka.
Betul, Daiki adalah idola Rin di sekolahan ini. Dia tampan, pintar, dan tingkah lakunya baik. Rin hanya bisa melihatnya dari kejauhan dan berharap ada keajaiban kecil yang terjadi. Setiap hari, selalu memperhatikannya, walau dia tidak sama sekali membalas perhatian Rin. Saat pulang sekolah, Rin selalu pergi ke lapangan dan melihatnya bermain basket. Dia adalah ketua tim basket di sekolah, banyak siswi yang juga menyukainya—sama seperti Rin. Dia terlalu populer di kalangan murid perempuan.
“Hanase! Hanase yo!” Rin mencoba melepaskan tangan Daiki yang ada di lengannya. Namun semakin berontak, cengkraman tangan Daiki pada Rin semakin kuat. Akhirnya Rin menyerah dan  menuruti kata Daiki untuk turun dari tepi gedung sekolah. Rin lemah dan hanya bisa melihat Daiki yang mencemaskannya.
Rin sama sekali tidak bisa menolak permintaan Daiki—sama sekali tak berdaya. Jika berhadapan dengan sosok yang di-idolakan tidak akan mungkin bisa menolak, bukan?— apalagi jika Rin melihat mata Daiki, mata yang membuat dekup jantungnya berdetak kencang melebihi detaknya jantungnya yang biasanya.
“Aku Arioka Daiki, siapa namamu?” tanyanya pada Rin. Dan Rin hanya menjawab “Rin....Rin Nanajima.”
***Flash Back End***

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini adalah bulan Desember. Bulan yang selalu ditunggu orang-orang  setiap tahun. Bulan penuh hadiah, coklat dan permen kesukaan Rin. Bulan dimana ada pohon Natal yang selalu menyinari—dengan cahaya dari lampu kecil yang beragam warna yang menghiasi tubuh pohon Natal.
Namun kali ini, terlihat Rin sangat tidak bersemangat. Otousan adalah satu-satunya yang cukup peduli dengannya, dan dia tidak bisa pulang kerumah. Natal kali ini mungkin Natal yang sepi bagi Rin.

Tepatnya, hari ini tanggal 17 Desember, adalah perayaan Natal di gereja. Rin dan keluarganya datang bersama, mungkin Rin cukup senang. Tapi, satu yang membuatnya tetap kecewa pada mereka.
Oniichan tiba-tiba saja pergi dan duduk disebelah kekasihnya. Adik-adiknya langsung bermain dengan teman-temannya. Hanya Rin dan Okaasan.
Rin pikir okaasan akan terus bersamanya, namun dipertengahan acara dia pergi. Rin sempat mendengarkan pembicaraan okaasan saat menerima telepon. Dia akan pergi ke rumah selingkuhannya.
Kini, Rin duduk sendiri di bangku yang paling belakang. Rin melihat oniichan yang duduk bersama kekasihnya di bangku yang lebih depan dari Rin. Saat itu sekilas, oniichan juga melihat ke arah Rin dengan pandangan sedih.

‘Mungkin dia tahu, aku saat ini sendiri. Aku harap oniichan mau duduk disebelahku, tapi itu mustahil’.
Air mata Rin tiba-tiba menetes. Rin bergegeas pergi ke toilet dan segera mengambil keitai-nya dalam saku rok dan menelpon Daiki untuk  datang untuk menjemput Rin.
“Daiki..” kata Rin dengan sedikit terisak sambil berjalan menuju Daiki yang berada di dalam mobil. Rin berusaha mencoba menyembunyikan perasaannya—perasaan sedih karena keluarganya— saat ini pada Daiki. Perlahan Daiki menarik Rin ke dalam pelukannya, ini membuatnya sedikit menjadi tenang.
“Mereka meninggalkanmu lagi?” tanya Daiki yang masih tetap memeluk Rin erat. Rin hanya menjawabnya dengan anggukan. Lalu, Daiki melepaskan pelukannya dan menghela nafasnya. “Daijyoubu, ada aku.” Lanjut ucapnya. Daiki mendekatkan wajahnya dan menciumi bibir lembut Rin dan meninggalkan beberapa bekas luka di pinggir bibir Rin.
“Ah, gomen..”kata Daiki seusai melepas ciumannya. Rin menggelengkan kepalanya meraih wajah Daiki. “Tidak apa-apa.” Bisik Rin di telinga Daiki yang lalu kembali membuat bibir mereka bersentuhan. Sentuhan bibir Rin membuat naluri lelaki yang dimiliki Daiki terpancing.
Dengan perlahan Daiki meraih kerah baju Rin dan membuka satu kancing bajunya. Tidak hanya meninggalkan bekas luka di sekitar bibir Rin, namun Daiki juga berniat membuat bekas luka di sekitar leher Rin dan dadanya yang kini separuh telanjang. Kini Daiki kembali meraih bibir Rin dan menciumnya kembali. Meraba bibir Rin dengan lembut dan memperdalam ciuman mereka. Ciuman Daiki semakin melonggar dan akhirnya Rin memutuskan ciumannya itu. Sudah hampir 20 menit mereka melakukan itu dan membuat Rin nampak sedikit tidak bertenaga.
Seperti biasa, Rin sama sekali tidak menolak. Saat Daiki menciumnya pun, Rin hanya bisa menurutinya. Sampai kapanpun, Rin tidak akan pernah menolaknya, mungkin ini karena Rin menganggap Daiki sebagai penyelamatnya. Kalau bukan karena Daiki yang menghalanginya bunuh diri saat lalu, Rin tidak akan bisa merasakan kebahagiaannya bersama Daiki saat ini.
“Tsukareta..” desah Rin manja pada Daiki.
“Rin, besok pergilah denganku.” Ajak Daiki dengan disertai anggukan pelan dari Rin.
               
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela membuat Rin terbangun dari tidurnya. Segera Rin menoleh ke arah jam dan melihat jam tepat berada di angka 9. Dengan cepat Rin membersihkan diri dan memilih pakaian untuk dipakainya saat bertemu dengan Daiki nantinya.
09.30, Rin siap pergi dengan membawa tas kecilnya dan memakai sweater dipadukan dengan rok merah pendek. Saat ini Rin siap untuk pergi dan akan membuka pintu kamarnya.
Belum satu langkah ia keluar dari kamarnya terdengar suara gaduh di dapur. Tanpa pikir panjang, Rin segera menuju sumber gaduh itu dan melihat adik-adiknya bertengkar—kedua adiknya membawa pisau dapur dan saling berkelahi dan itu membuat Rin sangat panik. Rin yang terkejut melihatnya segera lari menemui okasaan.
“Okaasan! Okaasan! Mereka bertengkar lagi!” teriak Rin sangat keras. Namun, sang ibu sama sekali tidak menanggapinya dan tetap asik berbicara dengan orang lain lewat keitai miliknya. Rin menarik baju okaasan-nya, dan sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kanan Rin.
“Kau berisik sekali!” bentak okaasan pada anaknya itu yang sekarang sedang menangis kesakitan. Bukan hanya sakit karena tamparan dari okaasan, namun hati Rin juga sangat sakit melihat ketidakpedulian okaasan pada anak-anaknya.
“Kau mau kemana?! Kau tidak di-ijinkan untuk keluar rumah tahu!” sekali lagi bentak okaasan.  Rin hanya menoleh ke sampingnya dan melihat oniichan berdiri di sana, berharap oniichan akan membelanya. Tapi harapan Rin sama sekali tak terkabul saat ponsel oniichan berdering, oniichan langsung pergi.
“Tapi, aku sudah ada janji..” Rin ingat bahwa pukul 10 ia harus segera bertemu Daiki. Rin memohon dengan begitu keras  sampai akhirnya kemarahan Rin tak bisa ia tahan. “Kau bukan okaasan-ku! Kau iblis!” sekali lagi kata-kata yang keluar dari mulut Rin. Hal ini semakin membuat kemarahan okaasan menjadi-jadi.
Tak hanya tamparan yang kini diterima Rin, namun juga pukulan yang keras dari okaasan dan luka akibat tersayat benda tajam. Akhirnya Rin hanya bisa tergeletak lemah di lantai yang dipenuhi darahnya. Pengelihatan Rin menjadi berkurang dan nafasnya menjadi tidak stabil. Rin benar-benar tidak berdaya, yang bisa ia lakukan saat ini adalah, menunggu sang penyelamat datang kepadanya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah berjam-jam Daiki menunggu di luar rumah Rin, namun Rin sama sekali tidak terlihat oleh matanya. Kecemasan Daiki semakin besar saat melihat okaasan Rin keluar dengan wajah yang menakutkan. Daiki menunggu kesempatan saat okaasan Rin segera pergi dengan selingkuhannya. Pada saat itu, Daiki akan masuk kerumah Rin tanpa sepengetahuannya. Beberapa menit kemudian sang okaasan pergi, dengan cepat Daiki berlari masuk melalui jendela rumah Rin.
“Rin!!” raut muka Daiki berubah seketika saat melihat Rin yang dipenuhi dengan cairan kental berwarna merah—darah— itu menyelimuti tubuh kecil Rin. Daiki menghampirinya dan membawanya ke kamarnya lalu membaringkannya di tempat tidur Rin.

“Rin, okirou!” kepanikan Daiki membuatnya tidak bisa berfikir positif. Daiki kini sangat bingung dengan apa yang harus diperbuatnya. Daiki membersihkan luka Rin dengan membasuhkannya dengan air dan kemudian membalutnya dengan perban. Lalu meletakknya air dingin di bekas tamparan yang sangat merah itu.
Beberapa jam kemudian Rin sadarkan dirinya. Rin merasa sakit akan lukanya—luka akibat sayatan benda tajam dan beberapa pukulan di tubuhnya— kini berkurang. Sekilas kepalanya menjadi sangat sakit. Rin menolehkan kepalanya dan melihat Daiki tertidur di sampingnya. Kini sedikit senyum tampak menghiasi wajah Rin yang penuh luka itu. Sakit yang ia rasakan tergantikan saat melihat Daiki disampingnya.
“Daiki...arigato.” bisik Rin pada Daiki. “Douitashimazite” balas Daiki.
“Eh, Daiki sudah bangun?!” Rin seketika terkejut. Wajahnya kini memerah setelah mengetahui Daiki terbangun.
“Aku hanya pura-pura tidur saja. Rin, bagaimana kondisimu sekarang?” tanya Daiki sambil mengambil segelas air putih yang berada di meja yang tak jauh dari mereka lalu memberikannya pada Rin.
“Tidak apa-apa. Jangan cemaskan aku. Ini sudah biasa.” Rin mengambil segelas air itu dari Daiki. Terlihat Rin tersenyum dengan terpaksa, mencoba membuat Daiki percaya dengan perkataannya barusan.
“Bagaimana bisa ‘tidak apa-apa’ ?! Rin tidak bisa terus tinggal disini. Tinggalah bersamaku di apartement!” ujar Daiki. “Aku mencemaskanmu, Rin!” lanjut katanya. Tangan Daiki kini meraih tangan Rin dan berharap Rin kali ini mau mendengarkannya. Rin sejenak terdiam, tidak membalas perkataan Daiki. “Rin, kali ini dengarkan nasihatku!” Daiki tak henti-hentinya meminta Rin, tangannya semakin kuat memengang tangan Rin.
“Hounto ni, atashi wa daijyobu.” Rin melepaskan tangan Daiki dan memeluk Daiki. Melihat reaksi Rin dengan tubuhnya yang bergetar seakan ketakutan, Daiki mencoba membujuknya lebih lembut. Namun pikiran Rin sama sekali tidak berubah, Rin bersikeras tetap tinggal disini.
“Apa kau mau mati disini?” bujuk Daiki lagi. “Lama-kelamaan ibumu akan membunuhmu, tahu!” Rin kembali terdiam setelah mendengar ucapan Daiki barusan. Rin memikirkan tawaran Daiki dan dampaknya. Setelah sekian lama Daiki menunggu jawaban dari Rin, akhirnya Rin membuka mulutnya.
“Tidak apa-apa.” Melihat tatapan Rin yang begitu serius, Daiki mengalah pada Rin. Daiki tersenyum dan duduk di sebelah Rin. Mencium kening Rin begitu lama.
“Wakatta. Ganbatte ne.” Ujar Daiki sambil melepaskan ciuman di kening Rin. “Soal aku akan mengajakmu pergi, sebaiknya ditunda saja. Tubuhmu belum bisa pulih.” Lanjut kata Daiki yang tetap mencemaskan keadaan tubuh Rin—tubuh yang dipenuhi luka tidak hanya di tangan, namun kaki juga wajahnya, penuh perban yang menyelimutinya. Rin hanya bisa menganngguk dan tersenyum pada Daiki.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua hari berselang setelah kejadian yang lalu. Daiki sama sekali tidak mendapat kabar lagi dari Rin. Kini perasaannya menjadi buruk—memikirkan hal yang akan terjadi pada Rin. Mencoba mengirimi Rin email dan menelponnya, namun sama sekali tidak ada hasil. Jaket yang ia gantung pun ia kenakan dan segera berlari menuju rumah Rin. Berharap tidak terjadi apapun pada Rin.
Sesampainya di depan rumah Rin, entah apa, kini perasaan Daiki menjadi lebih buruk melihat suasana di rumah Rin—suasana sepi, kelam dan juga seperti tak terurus. Kembali Daiki mencoba menghubungi Rin , mengambil keitai-nya dan segera menekan tombol kontak Rin.
1 menit...

2 menit...

Sama sekali tak ada balasan dari Rin.
Daiki berlari masuk ke rumah Rin. Berusaha membuka pintu rumah Rin yang terkunci dengan paksa lalu mendobraknya. Dilihatnya sekeliling, benar-benar sunyi, gelap tanpa ada satu cahayapun yang menyinari dan tak ada siapapun.
Daiki segera berlari menuju kamar Rin yang berada di lantai atas. Saat Daiki menaiki tangga, Daiki merasakan di tangannya terdapat cairan yang kental dan berbau pekat. Dilihatnya tangannya itu dan cairan merah kental itu menyelimuti telapak tangan Daiki.
.
.
“Darah...?”
Kembali kini pikiran Daiki semakin tak terkendali dan semakin mencemaskan keadaan Rin. Begitu banyak darah yang tercecer di tangga yang sedang ia naiki ini.
Pintu kamar Rin sekarang tepat ada di depan mata Daiki. Daiki meraih gagang pintu kamar itu dan membukanya dengan pelan.
.
.
.
“Nani ko-re?.....”  
Daiki begitu terkejut hingga tak bisa bergerak. Apa yang Daiki lihat saat ini, mungkin di luar kepala Daiki. Kamar yang berbau sangat anyir itu membuat Daiki sedikit mual.
Kamar yang dipenuhi dengan darah yang menghiasi setiap sudut itu adalah yang pertama kali bagi Daiki melihat tragedi ini. Di ujung ruangan tampak 2 orang bertubuh kecil dan 2 orang bertubuh dewasa tergeletak dipenuhi darah, darah yang perlahan-lahan menetes keluar dari tangan dan tubuh mereka. Mereka adalah kedua adik Rin, oniichan dan juga otousan Rin.
Lamunan Daiki terhenti saat mendengar suara teriakan dari arah yang berlawanan. Segera ia mendekat menuju arah suara yang ia dengar, suara yang sangatlah tidak asing lagi baginya—suara yang sangat nyaring yang hampir ia dengarkan setiap harinya— yaitu suara dari Rin.
“Rin!”  teriak Daiki saat melihat Rin menangis dengan tubuh berbalut darah. Daiki mengambil sapu tangannya yang tersimpan rapi di kantong jaketnya dan segera membersihkan darah yang menempel pada Rin.
“Rin, daijyobu? Apa yang terjadi?” tanya Daiki sembari membersihkan tubuh Rin. Rin yang masih gemetaran tidak bisa berkata apapun saat ini.
Pengelihatan Rin masih belum pulih sempurna karena benturan—yang sangat keras— yang terjadi di kepalanya.
Untuk yang pertama kalinya juga Rin merasakan tubuhnya dipenuhi cairan kental dan begitu  juga sekelilingnya. Tubuhnya yang bergetar—karena rasa takutnya— tidak mempengaruhi penciumannya akan bau pekat yang menyebar di seluruh ruangan bahkan seluruh rumah ini.
Dan untuk yang pertama kalinya, Rin menyaksikan pembunuhan di depan matanya sendiri. Pembunuh yang begitu kejam dan hasratnya akan membunuh orang membuat pengalaman baru bagi Rin yang tak akan pernah ia lupakan.
“Daiki...”
Terdengar isak tangis Rin ketika pengelihatannya semakin memulih. Pemandangan yang baru sekarang ia bisa lihat dengan jelas.
Pemandangan yang sangat tidak di-inginkannya.
“Daiki...oniichan to otousan ga....”
“Daiki..kowai..”
.
.
Kowai....
Itu mungkin adalah kata yang tepat untuk diungkapkannya saat ini. Kata yang mencerminkan wajah Rin yang sekarang menggigil ketakutan.
Tidak ada orang yang tidak mungkin ketakutan saat pertama kali melihat begitu banyak darah disekitarnya, begitu juga Rin.
“Tenang, aku akan segera menelpon polisi. Shinpai shinaide, Rin.” Kata Daiki yang juga mencoba menyadarkan Rin dari lamunannya pun tidak sampai ke telinganya.
Tetap diam dan terhanyut oleh halusinya adalah Rin yang sekarang. Badannya menggigil dan tangannya bergetar tidak karuan, membuatnya tidak bisa berpikir jernih saat ini.
“Daijyobu, koko ni iru yo.. boku ga Rin no mamoru da yo!”

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Brak!!
Suara benturan keras itu menyadarkan Rin. Suara yang terdengar seperti nyanyian maut itu kembali membuat Rin merasakan tragedi dalam hidupnya.
 “oniichan..”
Isak tangis yang kembali keluar dari Rin yang masih terdengar samar-samar.
“otousan mo..okirou..”
Rin kembali merasakan anyirnya bau darah yang ada di tangannya sekarang. Darah yang keluar melalui tubuh dan kepala oniichan dan otousan-nya. Darah yang berbau pekat dan sangat menusuk hidung.
Beberapa kali Rin memanggil nama mereka namun sama sekali tak ada ucap balasan bahkan tak ada gerakan sedikit pun. Kembali Rin mencoba menyadarkan mereka, seberapa besar pun Rin mencoba namun hasil yang di dapat tetap tak berubah.
“okirou...onegai..”
.
.
.
.
“Rin..okita..oi, Rin?!”
Tangan kanan yang menyentuh pipi kiri Rin, mencoba menyadarkannya dari mimpi buruk yang selalu Rin alami akhir-akhir ini. Tapi itu belum cukup untuk bisa membangunkannya dari mimpi maut Rin.
Wajah Rin semakin pucat, membuat Rin semakin masuk terjerumus dalam mimpi yang selalu menghantuinya tersebut.
Kini bisikan serta guncangan di bahu Rin membuat Rin sedikit terbangun.
“Da..i..iki..”
Mata Rin yang semula tertutup, kini terbuka lebar. Uap air yang keluar melalui pori-pori membasahi wajah Rin, membuat Rin tampak sangat lesu.
“Itu hanya mimpi buruk.” Satu helaian nafas lega keluar dari pria bepipi chubby itu. “Sebaiknya kita cari udara segar saja, ikou..” ajak Daiki menarik tangan Rin.
“Curang.” satu kata yang keluar dari mulut Rin yang kini membuat mereka berhenti berjalan. “Kenapa bukan okaasan saja yang mati? Kenapa hanya okaasan dan aku yang hidup?” lanjut keluh Rin.
“Sama sekali tidak adil.”
Berkali-kali Rin hanya mengomel tentang kematian dan kehidupan. Selain ada perasaan takut dan juga sedih—karena kehilangan oniichan, otousan dan adiknya— , namun di hati Rin tersimpan dendam dan kebencian pada sang okaasan.
.
.
Dendam?
Tentu saja Rin sangat mengetahui tentang itu. Perasaan dendamnya akan okaasan yang selalu memperlakukan dengan buruk Rin dan saudaranya. Perasaan yang selalu dimiliki setiap manusia, perasaan yang akan menimbulkan rasa sakit yang mendalam pada diri sendiri.
Juga perasaan yang sangat sulit untuk dihilangkan...
Melihat Rin dengan wajah seakan memikirkan hal yang menyimpang, tangan Daiki mendekap kepala Rin—perlahan membuat wajah mereka berdekatan, bahkan dahi dan hidung mereka bersentuhan.
“Mou ii yo ne, Rin. Rin yang seperti ini bukan Rin yang biasanya, dan juga bukan Rin yang kusuka.” Bisikan pelan Daiki sedikit membuat Rin menyadari dirinya.
Benar, diri Rin yang biasa adalah Rin yang memaafkan dan juga tidak pernah menyimpan dendam. Semenjak hari itu—hari dimana Rin kehilangan semuanya— , Rin seperti bukan yang biasanya. Tidak pernah tersenyum lembut, menatap semua orang dengan tatapan kosong, dan juga selalu mengungkit dendamnya pada okaasan.
Dendam yang berawal dari itulah yang membuat diri Rin berubah. Semakin lama, dendam Rin akan semakin besar. Mungkin Daiki mengetahui hal itu dan mencoba membuat Rin kembali semula.
Tapi mungkin..
Daiki sedikit terlambat..

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hujan yang membasahi kota Tokyo itu membuat sekujur tubuh Daiki basah kuyup. Hari ini Daiki kembali menengok rumah tragedi kekasihnya itu—tepatnya rumah Rin— untuk melihat keadaan Rin sama seperti hari-hari biasanya, namun mungkin Daiki terlambat beberapa jam karena urusan dengan keluarganya.
Beberapa detik sebelum Daiki menekan tombol bel rumah Rin, suara tawa yang keras dari lantai atas membuat kepanikan tersendiri bagi Daiki. Suara yang sudah lama tidak ia dengar lagi semenjak hari dimana tragedi itu terjadi  bagi Rin.

“Suara tawa ibu Rin..”

Tawa?
Apa yang di-ketawakan oleh ibu gila itu?
Adakah yang lucu bagi ibu Rin?
Mustahil, apalagi bagi seorang pembunuh seperti ibu Rin. Tidak akan ada yang bisa di-tawakan selain saat seorang pembunuh mencium bau yang membuat orang biasa menjadi mual....bau darah.
Yah, ibu Rin adalah orang gila yang bisa membunuh keluarganya sendiri. Rin beruntung karena saat itu Daiki datang di saat yang tepat—saat di mana Rin hampir terbunuh.
Satu hari setelah kejadian itu, polisi menangkap ibu Rin karena ia di duga yang membunuh keluarganya sendiri. Mungkin Rin sedikit lega, namun kali ini tidak. Ibu Rin berhasil kabur dari sel penjara dan menunggu Rin di rumah tragedi itu.
.
.
.
.
Kini tubuh Rin menggigil ketakutan melihat okaasan kembali berdiri di hadapannya—dengan raut muka yang sangat menyeramkan tentunya.
Rin sama sekali tak berani melihat tatapan mata sang okasaan—melihat wajahnya pun tidak. Getaran ketakutan Rin semakin besar ketika okaasan tertawa dengan keras. Tawa yang sepertinya melambangkan kemenangannya.
“Okaasan, kau akan membunuhku sama seperti yang lainnya?”
Rin memberanikan dirinya untuk membuka mulutnya dan ingin secara pasti mengetahui kebenaran bahwa apakah dirinya akan mati di tangan okaasan. Perlahan tangan okaasan kini memegang wajah Rin dan mengangkatnya agar wajah mereka bertatapan.
Okaasan menatap Rin dengan tajam dan penuh kebencian juga perasaan balas dendam. Mungkin karena Rin-lah yang membuatnya tertahan di sel yang kotor dan bau yang sangat dibenci olehnya.
“Apa?  Mungkin aku memang pernah membunuh dan itu nikmat sekali. Tapi..Bukankah kau yang membunuh semua keluarga dengan tangan hina-mu?!” ucapnya dengan suara lantang dan keras.
“Aku kemari untuk membalaskan rasa benciku karena aku di tahan di penjara karena kesalahanmu dan karena kau membunuh keluargaku.” Lanjut katanya. Rin sama sekali tidak mengerti sama sekali maksud dari ucapan okaasan barusan.
Rin terpaku di tempatnya saat ini. Berusaha mencerna apa yang dikatakan okaasan barusan. Berusaha mengingat kejadian tragedi itu.
Semakin Rin berusaha kembali mengingatnya, semakin Rin merasakan sakit di kepalanya saat ini.
Yang Rin hanya ingat adalah bau anyir dari darah yang membasahi tubuhnya saat itu dan kedatangan Daiki disana.
Apa yang kurang?
Apa yang terlupakan?

“Okaasan, apa maksudmu?! Aku sama sekali tak mengerti.” Badan Rin yang menggigil ketakutan itupun sudah tak ia rasakan kembali. Rin berdiri dengan tegap tepat berada di depan sang okaasan dan sepertinya berusaha menentangnya.
Perasaan takut ataupun semacamnya sudah luput dari diri Rin. Getaran aneh yang menjalar di semua tubuh Rin, getaran yang seakan memberinya keberanian dan kekuatan.
“Kau-lah pembunuh itu, Rin.”
Ucapan itu barusan membuat Rin seketika berubah drastis. Sempat Rin tertunduk beberapa lama sebelum ia...menengadahkan sebuah benda tajam di tangannya, benda yang selalu ia bawa untuk jaga diri.
Tatapan mata Rin kini menjadi seperti mata sang okaasan, mata yang haus dan lapar akan cairan kental yang menjijikan itu. Mata seorang pembunuh.
Perlahan tapi pasti, Rin berjalan mendekati sang okaasan dengan raut wajah mengerikan itu. Untuk pertama kalinya, getaran tubuh yang ketakutan dirasakan okaasan. Dan untuk pertama kalinya, Rin merasakan hasrat untuk membunuh seseorang.
.
.
.
.
.
.
“AAHHH!!!”
Suara teriakan yang indah bagi telinga Rin itu tak sama terdengar indahnya bagi Daiki. Daiki yang berdiri di balik pintu dan melihat kejadian itu pun hanya bisa menutup mulutnya dan menyaksikan hal yang sangat mustahil untuk dipercayainya.
Segera Daiki membuka pintu itu—pintu tempat ia bersembunyi— dengan kasar. Suara benturan itu membuat Rin harus menolehkan dirinya ke arah sumber suara. Dilihatnya Daiki berdiri dan sepertinya masih sama sekali tak mempercayai bahwa Rin membuat tangannya dipenuhi oleh darah ibunya itu.
Daiki berlari ke arah Rin dan meraih tubuh Rin, membuat Rin masuk ke dalam pelukan Daiki.
Begitu dekat...
Nafas Daiki yang mengenai leher Rin, membuat Rin sadar akan dirinya dan apa yang barusan ia lakukan—mungkin.
“Da...i...iki..?” ucap Rin pelan. Suaranya yang pelan dan sedikit terisak itu terdengar jelas di telinga Daiki.
“Apa benar aku yang membunuh mereka? Jadi aku-lah pembunuhnya..” ucap Rin sekali lagi, mencoba menyakinkan dirinya dengan bertanya pada Daiki. Tentu saja, sebagai seorang kekasih, Daiki tidak bisa menjawab apapun atau memberi isyarat apapun pada Rin. Yang bisa dilakukan Daiki sekarang hanyalah memeluk tubuh kecil Rin lebih erat lagi.
Tanpa pikir panjang lagi Rin membulatkan tekadnya untuk yang terakhir kali. Dengan paksa, Rin melepaskan dirinya dari pelukan Daiki dan berlari menuju mayat yang baru saja ia bunuh dengan tangannya itu—mayat ibunya. Rin mengambil pisau yang ia tusukkan ke bagian tubuh ibunya yang tepat berada di posisi jantung. Pisau berlumut darah itu, ia acungkan kini pada Daiki. Entah apa yang akan kembali ia perbuat.
Serentak badan Daiki sama sekali tak bisa digerakkan dan matanya terkunci hanya melihat pisau yang sedang berada di tangan Rin.
“Rin..Apa yang kau mau...lakukan?” tanya Daiki yang mulai ketakutan saat Rin mulai berjalan mendekatinya. Tatapan mata Rin kali ini tidak terlihat seperti mata pembunuh, tapi lebih seperti terlihat mata sayu dengan pandangan hampa.
“Daiki..gomen. Mungkin kita akan bertemu, atau mungkin tidak akan.”
Langkah kaki Rin kini terhenti saat Daiki sudah terpojok antara Rin dan tembok dibelakangnya.
“Yang terakhir, Sa-yo-na-ra...” ucap Rin dan diwaktu yang bersamaan Daiki memejamkan kedua matanya.
.
.
.
Perlahan-lahan bau anyir itu dirasakan oleh Daiki, membuat kepalanya sedikit sakit karena bau yang sangat ia benci itu.
Mata Daiki kini terbuka, mencoba melihat situasi kini.
“Rin, kau........”
Sebegitu terkejutnya Daiki karena melihat Rin yang memasukkan pisau itu ke tubuhnya sendiri. Membuat beberapa darah keluar menetes yang membuat baju Rin yang kini sebagian berubah menjadi merah.
Rin mengakhiri dirinya hanya sampai disini.
Mungkin kehidupan baru Rin akan menyenangkan atau mungkin tidak sama sekali.




--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                                                                                                                                                                Owari’’

gimana..gimana??? kasih tanggapannya X3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut